Semalam, setelah menyantap 12 tusuk sate ayam (dan dikomentari teman baik saya dengan "Kamu udah priksa kolesterol lagi belum, frat?"), saya menyempatkan diri mampir di kios majalah di depan pastoran.
Sebuah artikel menarik dalam majalah Bloomberg Businessweek menarik perhatian saya. Artikel itu berkisah tentang seorang nyentrik yang menyulap sebuah majalah biasa menjadi semacam 'kitab suci' bagi penghuni apartemen.
Saya memutuskan membeli Bloomberg itu. Dan ketika membolak-balik halaman per halaman majalah itu saya menemukan artikel lain yang jauh lebih menarik.
"Semakin terbagi perhatian kita, kita semakin tidak bisa merasakan empati, belas kasihan, dan emosi dalam bentuk yang paling halus, yang paling manusiawi secara nyata".
Artikel itu, yang satu kalimat di dalamnya saya kutipkan untuk Anda, adalah resensi sebuah buku baru. Buku baru itu berusaha menjawab pertanyaan, apa yang terjadi pada otak kita di zaman Facebook, Twitter, Youtube dan Blackberry seperti sekarang ini.
Jawabannya adalah otak kita harus bekerja lebih keras untuk memutuskan entahkah harus mengecek Facebook, nge-tweet, membalas BBM yang masuk, menyelesaikan pekerjaan kantor, ataukah mendengarkan curhat.
Apa yang terjadi jika otak kita harus bekerja lebih keras seperti itu?
"Orang-orang harus lebih lama memusatkan perhatian sebelum otak mereka menunjukkan tanda-tanda peduli terhadap rasa sakit yang dialami orang lain".
Dengan kata lain, dengan Blackberry di tangan, empati dan belas kasih Anda terhadap sesama yang membutuhkan tidak gampang tumbuh. Butuh waktu lebih lama buat Anda untuk menyadari seseorang sedang membutuhkan uluran tangan Anda.
Saya benar-benar tidak tahu ini berita baik atau buruk buat Anda. Selamat ber-BBM ria.