BB Tak Punya Hati
Semalam, setelah menyantap 12 tusuk sate ayam (dan dikomentari teman baik saya dengan "Kamu udah priksa kolesterol lagi belum, frat?"), saya menyempatkan diri mampir di kios majalah di depan pastoran.
Sebuah artikel menarik dalam majalah Bloomberg Businessweek menarik perhatian saya. Artikel itu berkisah tentang seorang nyentrik yang menyulap sebuah majalah biasa menjadi semacam 'kitab suci' bagi penghuni apartemen.
Saya memutuskan membeli Bloomberg itu. Dan ketika membolak-balik halaman per halaman majalah itu saya menemukan artikel lain yang jauh lebih menarik.
"Semakin terbagi perhatian kita, kita semakin tidak bisa merasakan empati, belas kasihan, dan emosi dalam bentuk yang paling halus, yang paling manusiawi secara nyata".
Artikel itu, yang satu kalimat di dalamnya saya kutipkan untuk Anda, adalah resensi sebuah buku baru. Buku baru itu berusaha menjawab pertanyaan, apa yang terjadi pada otak kita di zaman Facebook, Twitter, Youtube dan Blackberry seperti sekarang ini.
Jawabannya adalah otak kita harus bekerja lebih keras untuk memutuskan entahkah harus mengecek Facebook, nge-tweet, membalas BBM yang masuk, menyelesaikan pekerjaan kantor, ataukah mendengarkan curhat.
Apa yang terjadi jika otak kita harus bekerja lebih keras seperti itu?
"Orang-orang harus lebih lama memusatkan perhatian sebelum otak mereka menunjukkan tanda-tanda peduli terhadap rasa sakit yang dialami orang lain".
Dengan kata lain, dengan Blackberry di tangan, empati dan belas kasih Anda terhadap sesama yang membutuhkan tidak gampang tumbuh. Butuh waktu lebih lama buat Anda untuk menyadari seseorang sedang membutuhkan uluran tangan Anda.
Saya benar-benar tidak tahu ini berita baik atau buruk buat Anda. Selamat ber-BBM ria.
Jadi, Sedikit atau Banyak?
Dalam sebuah karya pelayanan, mana yang lebih baik: jumlah umat sedikit atau banyak?
Suatu siang di Manado. Beberapa bulan yang lalu.
Seorang Romo menunjukkan beberapa foto berisi gereja-gereja bukan Katolik yang menjamur di Manado.
"Banyak umat kita sekarang menyeberang ke gereja-gereja ini" katanya mengungkapkan keprihatinannya.
"Mengapa?" tanyanya.
"Banyaknya umat dalam Gereja kita membuat banyak pula umat yang tidak disapa secara personal, tidak dikunjungi secara teratur, diperhatikan dan dilayani secara rohani. Di gereja-gereja non-Katolik, karena jumlah umatnya yang sedikit membuat pelayanan sedemikian personal, semua orang saling mengenal dan saling peduli sedemikian rupa sehingga tiap anggota merasa diterima dan diperhatikan kebutuhan rohaninya" jawab saya ketika itu.
Waktu itu saya sungguh yakin jumlah teramat menentukkan. Dan waktu itu saya yakin, jumlah umat yang sedikit membuat pelayanan lebih efektif.
Suatu siang di Jakarta. Belum lama ini.
"Karena berbagai pertimbangan, kelompok doa kami dimekarkan menjadi beberapa kelompok yang lebih kecil" cerita seorang umat kepada saya.
Jumlah umat yang sedikit membuat pelayanan lebih efektif, benar? Tidak juga. Di luar dugaan justru kelesuan menyebar merata di kelompok-kelompok kecil tersebut.
Pemekaran itu yang membuat jumlah umat yang menghadiri pertemuan terbatas menjadi pemicu kelesuan itu. Terbalik dari keyakinan saya beberapa bulan lalu, lebih banyak umat yang hadir dalam setiap pertemuan doa lebih baik. Jumlah umat yang banyak menjadi pemicu kegairahan dalam pelayanan.
Moral dari dua kasus di atas adalah kejelian melihat pengaruh yang ditimbulkan dari jumlah umat. Adakalanya lebih sedikit lebih baik. Ada kalanya semakin banyak semakin baik.
Kejelian, saudara-saudara, kejelian.
Tuhan dan Paru-Paru Hitam
Allah merancang setiap bagian tubuh Anda. Dia dengan terencana memilih ras Anda, warna kulit Anda, rambut Anda, dan setiap karakteristik lainnya. Dia merancang dan membuat tubuh Anda seperti yang Dia inginkan. Dia juga menentukkan talenta-talenta alami yang akan Anda miliki dan keunikan dari kepribadian Anda. Alkitab berkata, "Engkau mengenalku lahir dan batin, Engkau mengenal setiap tulang dalam tubuhku; Engkau mengetahui persis bagaimana aku dijadikan, sedikit demi sedikit, bagaimana aku dipahat dari kehampaan menjadi sesuatu" (Mzm. 139:15).
Anda yang sudah pernah membaca The Purposen Driven Life-nya Rick Warren barangkali tidak akan asing dengan paragraf pembuka di atas. Saya memang mengutip mentah-mentah dari buku yang terkenal itu. Faktanya, saya sedang mendalami isi buku tersebut dengan sekelompok orang muda.
Mengapa saya mengutipnya?
Saya setuju mentah-mentah juga dengan keyakinan sang pendeta dalam buku tersebut.
Bahwa Allah merancang setiap bagian tubuh kita. Setuju.
Kemarin, Sabtu (21/08), bersama dengan seorang teman saya melihat seperti apa persisnya tubuh kita ini di bawah permukaan kulit. Kami melihatnya di sebuah pameran tubuh manusia; tubuh asli manusia. (Selama di pameran itu saya tidak bisa menahan diri untuk menebak-nebak siapa manusia-manusia yang dipamerkan ini dan adakah mereka setuju anggota tubuhnya dilihat-lihat dan diraba seperti daging sapi di pasar?)
Kami ditemani berkeliling dan melihat-lihat (dan mengambil gambar) oleh salah seorang penjaga pameran itu yang ternyata adalah seorang calon dokter. Kecuali siapa manusia-manusia itu dan adakah mereka setuju diperlakukan mirip daging sapi, semua pertanyaan saya terjawab (seperti, cincing yang katanya dipasang pada jantung di bagian mana persisnya, di mana prostat itu dan mengapa bisa terkena kanker dan lain-lain semacam itulah).
Jadi, apa yang mau saya katakan sesungguhnya?
Kembali ke kata-kata Rick Warren di atas: Allah merancang setiap bagian tubuh kita. Benar. Melihat bagian dalam tubuh manusia berikut sistem kerjanya, saya percaya, menciptakan manusia bukanlah pekerjaan seorang amatir. Allah dan hanya Allah saja yang bisa melakukannya.
Tetapi setelah menyelesaikan karyanya, Allah mengizinkan kita untuk berkuasa penuh atas tubuh kita. Allah menyerahkan pilihan kepada kita: mau diapakan karya-Nya itu?
Itulah sebabnya, di pameran itu, saya melihat paru-paru yang dipajang bersih berdampingan dengan paru-paru yang sudah menghitam. "Yang hitam itu karena pengaruh merokok" kata si calon dokter.
Di tangan Tuhan tidak ada remote control. Kita bukan robot.
Sekarang saya penasaran, bagaimana reaksi Tuhan melihat paru-paru hitam tersebut? Bagaimana reaksi Tuhan jika kita memilih untuk merusak ciptaan-Nya ini? Bagaimana reaksi Tuhan jika melihat kita merusak diri sendiri?
Jika Anda melihat seseorang merusak karya ciptaan Anda di depan mata Anda sendiri, bagaimana reaksi Anda?
Mati-Matian atau Setengah Hati
Ada baiknya kita bertanya kita bertanya pada diri sendiri, manakah yang lebih penting antara bisnis, karier, uang dan keluarga? Bila jawaban Anda adalah keluarga, maka mungkin tulisan di bawah ini adalah sesuatu yang perlu direnungkan.
Setelah kita belajar tentang bagaimana memulai bisnis, bagaimana meningkatkan karier, dan bagaimana mengembangkan uang, sudah cukupkah kita belajar tentang pasangan kita, sudahkah kita belajar mengatasi tantangan yang akan timbul dalam rumah tangga?
Sewaktu bisnis akan jatuh, apa yang akan kita lakukan? Kita akan mati-matian mengupayakan untuk bisa bangkit, kita menginvestasikan waktu lebih lama di kantor, tenaga dan pikiran juga kita curahkan sepenuhnya. Tidak jarang kita membayar konsultan untuk memberi ilmu yang akan membantu bisnis agar terselamatkan.
Namun apakah kita akan berbuat hal yang sama bila itu terjadi di dalam keluarga? Bila hubungan mulai retak, apakah kita akan lebih lama tinggal di rumah atau merencanakan bulan madu yang kedua? Akankah kita mencurahkan tenaga dan pikiran lebih banyak pada hubungan kita? Akankah kita memanggil seseorang dan belajar kepadanya apa yang harus kita lakukan?
Hmmm, something to think about? (Gobind Vashdev, Happiness Inside, hlm. 48-49).
Merdeka.... Atau Belum???
Nasib Bank di Tangan Satpam
Di Manado, beberapa kali saya harus berurusan dengan bank. Dengan beberapa bank yang berbeda. Tetapi kenyataan yang saya dapati sama saja antara beberapa bank itu.
Kenyataan yang sama itu adalah pintu masuknya ditunggui oleh seorang satpam.
Ia membukakan pintu. Menyapa saya sesuai waktu saya masuk ("Selamat pagi, pak" kalau pagi hari misalnya). Dan jika saya kelihatan bingung, dia akan menawarkan bantuan, "Ada yang bisa saya bantu, pak?". Dan jika saya menyatakan pangkal kebingungan saya, dia akan dengan ramah pula menjawab. Bila perlu mengantarkan saya ke tempat yang ingin saya tuju. Baru sesudah satpam-satpam itu, saya berhadapan dengan mbak-mbak cantik yang kadar keramahannya mirip dengan suara-suara otomatis di telepon genggam saya.
Sejauh ini satpam-satpam dengan keramahan luar biasa itu sangat membantu. Paling tidak begitu pengalaman saya. Dan karena itu saya tidak pernah merasa tidak nyaman berurusan dengan bank.
Saya tidak terlalu paham hierarki jabatan dalam dunia perkantoran. Tetapi saya membayangkan satpam mungkin berada di dasar hierarki.
Kalau hidup bisa mengejutkan kita dengan ironi-ironinya, inilah salah satu ironi itu.
Mereka yang berada di dasar justru nyaris paling menentukkan. Mereka yang berada di dasar justru bisa membuat perbedaan.
Jika satpam-satpam itu tampil menyebalkan, tamatlah bisnis raksasa itu. Nasabah seperti saya, karena banyaknya pilihan, akan dengan mudah berpindah.
Jadi inilah nasehat saya yang buta dunia perkantoran: kapan saja Anda memperlakukan mereka yang berada di dasar hierarki dengan buruk, Anda sedang membunuh usaha Anda dengan tangan Anda sendiri.
Lucu juga, banyak tidaknya nasabah sebuah bank sebagian ditentukan oleh satpam.
P.S: Jika tulisan ini jatuh ke tangan salah seorang dari mereka, mungkin sebentar lagi mereka akan menuntut kenaikan gaji. Atau Anda bisa berinisiatif. Eh, ngomong-ngomong, besok libur loh. Selamat berlibur.
Orang Katolik Malas Memberi?
"Camkanlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga. Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita" (2Kor 9:6-7)
"Orang Katolik sekarang berlomba-lomba untuk mendapatkan karunia bernubuat. Pada pengen banget karunia bernubuat itu. Apalagi karunia untuk menyembuhkan. Lebih banyak lagi yang mau.
Tapi gak ada yang mau dapet karunia untuk memberi.
Ada gak yang berdoa kayak gini, 'Tuhan, aku mohon berikanlah kepadaku karunia untuk memberi?'" kata seorang pewarta yang ditanggapi audiens-nya dengan tertawa dan senyum lebar. (Ada kalanya lebih gampang menjawab pertanyaan dengan senyum atau tawa).
Saya yang mendengarnya pun ikut senyam-senyum.
Itu kejadian semalam. Dan masih tetap saya pikirkan sampai siang ini.
Mari berdoa… Ada yang mau karunia itu? Menabur banyak, menuai banyak lo…
Mari memberi (Jangan berdoa terus…). Anda pasti tidak sedang tersenyum. Apalagi tertawa. Jadi, saya tahu jawabannya.
Ayat Favorit Hari Ini
Mencintai itu Melelahkan
Mencintai seseorang ternyata bisa sangat melelahkan.
Tanyakanlah itu pada seorang ibu yang sendirian merawat ayahnya yang sudah berusia 86 tahun, yang mantan prajurit ABRI, yang sudah tuli total. Sendirian karena suaminya sudah meninggalkannya untuk selama-lamanya. Seolah tak mau kalah, putra semata wayangnya pun pergi meninggalkan dia entah kemana dan entah kenapa. Sendirian kendati ayahnya masih memiliki dua orang putra lagi tetapi entah mengapa tanggung jawab perawatan sepenuhnya ada di tangan putrinya ini. Sendirian karena tidak ada suster ataupun perawat khusus. Benar-benar sendirian.
Konon katanya (karena tidak selalu benar), pertumbuhan kita mengikuti siklus ini: anak-anak—remaja—dewasa—tua—anak-anak (lagi). Orang tua kembali menjadi anak-anak lagi.
Maka merawat orang tua 86 tahun itu seperti merawat anak kecil yang rewel minta ampun, manja, mudah ngambek dan sangat keras kepala. Dan anak kecil yang ini tidak bisa ditaklukan dengan perintah, teriakan atau gertakan.
Suatu malam, ketika berkunjung ke rumah mereka, saya mendapati sang ibu duduk dengan sebatang rokok di jemarinya, ditemani sebotol minum keras lokal dan sebotol lagi minuman bersoda yang kelihatannya sudah diminum setengah. Penerangannya hanya sebatang lilin.
Dia kaget, tentu saja, begitu melihat saya. Dan malu. Ngomong-ngomong, tahukah Anda keistimewaan profesi kami? Orang mabuk bisa langsung sadar begitu melihat kami. Serius. (Paling tidak begitu pengalaman saya).
Setelah berhasil menguasai diri dari sensasi mabuk dan malu, mulailah dia menangis.
Dia menangis. Lalu bercerita. Menangis lagi. Bercerita lagi. Menangis lagi.
Dia bercerita banyak tentang betapa beratnya beban yang harus ia pikul. Tentang betapa stress-nya ia mengurus ayahnya. Tentang berapa banyak pertengkaran yang sudah mereka lalui (dan luka dalam hatinya yang timbul sesudah banyak pertengkaran itu). Tentang saudara-saudaranya yang kurang peduli. Tentang kenangan yang tak mau pergi akan suaminya. Tentang anaknya yang masih dicintainya.
"Hiburan saya selama ini ya ini frater" katanya sambil mengacungkan rokok dan menunjuk botol minuman keras.
Mencintai itu melelahkan. Sangat melelahkan. Capek: capek fisik, capek mental, capek pikiran dan capek hati.
P.S: Sebagian orang merokok dan minum minuman keras sebagai hiburan karena mencintai, kadang-kadang, terlalu melelahkan untuk mereka. Kunjungi, sapa, hibur, mengerti dan dengarkanlah mereka. Biarkan mereka tahu kehadiran Anda jauh lebih menghibur daripada sebatang rokok dan sebotol minuman keras.
Melihat Cinta Pergi Tak Berbekas
Saya lupa kapan terakhir kali saya jatuh cinta. Maksud saya, jatuh cinta yang benar-benar jatuh cinta.
Pengalaman terbaru (atau terakhir?) saya tentang cinta pria-wanita sebagai pasangan ketika di SMA dulu. Cinta SMA, yaaaa, Anda tahu sendirilah kualitasnya seperti apa.
Jadi, saya tidak pernah bisa mengerti apa yang pernah saya lihat dengan mata kepala sendiri kejadian beberapa waktu yang lalu.
Suatu malam ketika hendak menghadiri sebuah pertemuan, saya diberitahu saudara kandung dari seorang umat saya meninggal dunia. Jenazahnya disemayamkan di rumah umat saya ini.
Karena belum ada tanda pertemuan dibuka, saya menyempatkan diri melayat. Lagipula jarak rumah duka dengan tempat pertemuan memang dekat, tidak sampai lima menit dengan berjalan kaki.
Di sana saya mendapati jenazah terbaring kaku. Di depannya duduk seorang ibu di usia 30-an dan tiga orang anak duduk mengapit.
"Itu istri dan anak-anak almarhum" begitu saya dibisiki umat yang berduka.
Saya menyalami mereka sambil menyatakan turut duka cita. Setelah itu, saya mengajak mereka berdoa bersama untuk kebahagiaan kekal almarhum dan kekuatan dan penghiburan bagi keluarga yang ditinggalkan.
Saya masih berada di sana sekitar setengah jam untuk menyadari doa mohon kekuatan dan hiburan bagi keluarga itu mungkin tidak berlaku untuk sang istri.
Wanita itu, istri almarhum, duduk di sana, di depan jenazah suaminya. Tetapi tidak terlihat air mata yang menetes. Pun matanya tidak memperlihatkan tanda-tanda seorang yang menangis.
Ekspresi wajah dan bahasa tubuhnya persis seperti ketika Anda berada di rumah duka padahal Anda tidak punya kedekatan emosional secuilpun dengan almarhum; persis seperti ketika Anda harus berada di rumah duka hanya karena Anda tidak punya pilihan lain.
"Rumah tangga mereka memang bermasalah frater. Mereka sudah pisah rumah beberapa bulan ini" bisik salah seorang pelayat seolah bisa membaca keheranan saya.
Masuk akal.
Tetapi tidakkah ada kenangan manis yang tersisa untuk ditangisi?
Katanya, cinta memang bisa datang dan pergi dari hati seseorang. Saya hanya tidak menduga (dan tidak mengerti) ia bisa pergi tanpa meninggalkan bekas.
Mungkin, wajar juga, saya tidak mengerti. Bisa apa kalau pengalaman saya hanya sampai SMA?
Tuhan itu Cerdik
Beberapa hari yang lalu pikiran ini datang hampir seperti sebuah pencerahan. Pikiran ini membuat saya membaca Kitab Suci dengan sudut pandang yang berbeda.
Pikiran apa? Ini: Tuhan itu cerdik.
Saya kasih contoh.
Ketika Yesus mengatakan "Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku" (Mat. 25:40), maksud-Nya bukan hanya agar kita memperhatikan mereka yang kecil dan hina. Bukan hanya agar kita pengikut-Nya menuruti perintah-Nya dengan berbuat baik kepada mereka.
Yesus sekaligus ingin memastikan ada yang memperhatikan mereka yang kecil dan hina itu.
Dengan kata lain, DIA tidak membiarkan mereka yang kecil dan hina itu sendirian berjuang. DIA peduli pada mereka melalui Anda yang taat melaksanakan sabda-Nya itu.
Contoh lain.
"Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu" (Mat. 5:44).
Kita bukan hanya diminta oleh Yesus untuk mengasihi orang-orang yang menyebalkan itu.
Yesus sekaligus ingin memastikan ada yang mengasihi dan mendoakan orang-orang menyebalkan itu. Orang lain bisa menjadi musuh Anda.
Tetapi Anda pun bisa jadi adalah musuh seorang yang lain. Maka, dengan sabda itu, Yesus ingin agar seorang lain itu mengasihi Anda. Sekaligus Yesus ingin memastikan ada orang yang senantiasa mendoakan Anda.
Tuhan itu cerdik.
Dan baik. Baik banget.
Jika Pelupa Bisa Bermain Kulintang
Bagaimana mengajarkan musik kepada sekumpulan pelupa dengan kemampuan berpikir yang tidak lagi jernih? Mmmmm… Ganti, ganti. Bagaimana mungkin? Ya, ya, ya, bagaimana mungkin?
Minggu lalu. Di suatu siang yang terik menyengat. Saya berada di sebuah lembaga rehabilitasi pecandu narkoba di luar Jakarta.
Setelah makan siang bersama dengan para pecandu yang ingin sembuh itu (di lembaga ini mereka dipanggil 'resident'), kami berkumpul di sebuah ruangan yang didesain multifungsi: para resident akan memperlihatkan kemampuan mereka bermain musik. Di dalam ruangan itu terdapat beberapa alat musik. Dua di antaranya, seperangkat kulintang dan angklung.
Siang itu para resident wanita dan guru musik lembaga itu memainkan lagu dari Spanyol dengan menggunakan kulintang. Lagu itu sendiri sama sekali asing di telinga saya. Bahkan judulnya, yang disebut sang guru musik asal Manado di awal permainan mereka, tidak saya ingat. Alasan guru musik bererja di lembaga itulah yang paling saya ingat.
"Kata orang, pecandu narkoba itu sampah masyarakat. Tetapi saya senang bekerja di sini dan mengajar musik kepada para resident. Karena saya ingat kata-kata Yesus, 'Apa yang kau lakukan untuk salah seorang saudaraku yang paling hina itu kau lakukan untuk Aku'".
Sebelum makan siang bersama, seorang pengurus lembaga itu menjelaskan efek dari penggunaan narkoba. Kehilangan kemampuan untuk berpikir secara jernih, itu salah satu efeknya. Dan pelupa adalah efek lainnya. "Ada resident yang tidak ingat lagi nomor telepon rumahnya sendiri. Ada pula yang setelah keluar dari toilet ia lupa hendak ke ruangan mana. Ada yang sebelum menggunakan narkoba sangat mahir bermain gitar. Sekarang lupa" katanya.
Setelah penjelasan panjang lebar itu, saya menghadiri misa bersama dengan para resident. Dan saya menyaksikan efek lupa dan tidak bisa berpikir jernih itu. Dalam kata pembukaan romo yang mempersembahkan misa menyebut tema misa. Setelah dua-tiga kalimat pendek penjelasan, sang romo menanyakan kembali kepada para resident tema misa. Mereka hanya saling pandang dan mengeluarkan gumaman tidak jelas. Tidak ada satupun yang mengingatnya. Tidak satupun dari 36 resident yang hadir! Padahal rasanya-rasanya baru 30 detik berselang.
Karena itu saya tergetar. Waktu itu saya terharu mendengar alasan guru music itu.
Pastilah tidak gampang mengajarkan kulintang kepada sekumpulan pelupa dengan kemampuan berpikir yang tidak lagi jernih. Pastilah dibutuhkan tujuh puluh kali tujuh kali lipat kesabaran.
Pastilah dibutuhkan lebih dari kesabaran. Pastilah dibutuhkan keyakinan tidak biasa. Dan inilah keyakinan tidak biasa itu: guru musik itu yakin ia tidak sedang melayani sampah masyarakat, ia melayani Yesus sendiri.
Dan keyakinan tidak biasa itu membuat yang tidak mungkin menjadi mungkin. Keyakinan tidak biasa itu membuat mukjizat terjadi.
Lagu Spanyol itu dimainkan dengan sangat indah.