Bukan Saya

Jumat, Januari 30, 2009 0 komentar

Dalam sistem pembinaan calon imam dalam tarekat MSC, seorang frater baru boleh berkarya di tengah umat dan masyarakat ketika menginjakkan kaki di tahun keempat. Lazimnya dimulai dengan mengajar agama di sekolah-sekolah.

Kalau dihitung-hitung, sekarang saya sudah menginjakkan kaki di tahun ketujuh. Itu artinya sudah tiga tahun, kurang lebih, saya terjun ke tengah umat dan masyarakat.

Dari pengalaman tiga tahun itu ada satu pengalaman menarik yang ingin saya ceritakan.

Setiap selesai berbicara (baik itu mengajar, berkotbah atau menjadi pembicara untuk topik tertentu) di depan sejumlah orang atau umat, selalu ada saja beberapa orang yang datang menghampiri saya untuk memberi tanggapan atas isi pembicaraan saya. Kalaupun tidak menghampiri saya ada saat itu juga, dalam kesempatan lain isi pembicaraan saya dibahas lagi.

Lucunya, ternyata ketika orang mendengar saya berbicara tentang, misalnya kerendahan hati atau kesetiaan, yang mereka bayangkan justru orang lain yang tidak rendah hati dan tidak setia.

"Frater, kothbah tadi kena banget ama si anu".

"Tadi waktu frater ngomong, saya langsung kepikiran si anu. Mudah-mudahan dia berasa"

"Kothbah frater kok pas ama si anu ya. Coba kalo dia ada"

"Renungan tadi si anu banget tu, frat"

Jarang sekali ada yang mengaku bahwa isi pembicaraan saya benar-benar menyentuh pengalamannya atau "kena banget ama saya, frat".

Ada tiga kemungkinan penyebabnya. Pertama, bisa jadi memang apa yang saya bicarakan tidak menyentuh pengalamannya sama sekali. Kedua, bisa jadi juga kena, diam-diam, tapi malu untuk mengakuinya. Atau, ketiga, barangkali benarlah kata-kata Yesus, "Mengapa engkau melihat selumbar di dalam mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu sendiri tidak engkau ketahui?" (Mat. 7:41).

Tentu saja yang di atas itu belum tentu benar. Namanya saja kemungkinan.

Bagaimana pengalaman Anda? Jangan-jangan Anda langsung terpikir seseorang yang lain?

Hehehe, kadang-kadang kita memang lucu.

Verse of the Day

Kamis, Januari 29, 2009 0 komentar

Orang Menyukai Saya atau Uang Saya?

0 komentar

["They grow up worried inside, thinking, 'Do people like me for who I am?'"]

Ini tulisan buat Anda para orang tua dan, ya, Anda juga para calon orang tua.

No free rides, kid. Itu judul salah satu artikel yang diturunkan majalah TIME, 24 November 2008. Kalimat pembukanya langsung menyentil, "For successful parents, leaving wealth to the next generation is easy. More difficult is passing to privileged children the values and traits that will help them lead productive, fulfilling lives". Bagi para orang tua yang sukses, mewariskan kekayaan kepada anak-anaknya adalah hal yang mudah. Yang tidak mudah adalah mewariskan nilai dan karakter yang akan membantu mereka menuju hidup yang produktif dan bermakna.

Ini tentang bagaimana membesarkan anak menjadi seorang dewasa dan siap menghadapi hidup dengan segala tantangan dan kesukarannya; tentang bagaimana membangun identitas seorang anak yang terpisah dari identitas dan uang orang tua mereka.

Memang benar bahwa tidak semua anak dari keluarga yang mampu bertumbuh menjadi seseorang yang egois, manja dan kekanak-kanakan sama halnya dengan tidak semua anak dari keluarga miskin selalu ambisius. Tetapi ada banyak laporan, catatan, anekdot dan bukti yang menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga mampu kurang bisa berhemat, kurang independen, kurang berambisi, kurang tahan terhadap kesukaran hidup dan kurang semangat berusaha.

Menurut Thayer Willis, seorang penulis buku yang juga anak dari keluarga mampu, sebagaimana dilaporkan majalah ini, uang itu sendiri memang bukan persoalan. Hanya saja, orang tua yang mampu memberi terlalu banyak kebebasan kepada anak dalam soal keuangan (a.k.a semua permintaan anak dengan gampang dipenuhi) sehingga membuat anak merasa berhak memiliki apapun juga dan kurang memiliki rasa tanggung jawab atas hidupnya sendiri: mau ke mana dan ingin menjadi seperti apa.

Pola asuh orang tua yang demikian (baca: semuanya terpenuhi dengan gampang) melahirkan persoalan psikologis dalam diri anak, yakni perasaan tidak aman. Simak kata-kata penulis Jon dan Eileen Gallo "They grow up worried inside, thinking, 'Do people like me for who I am?'" Apakah orang-orang menyukai saya karena pribadi saya atau karena uang yang saya miliki. "Sometime very wealthy parents use money to fill in potholes (= lubang-lubang) in the roads so that kids don't have to deal with problems. But dealing with the potholes is how you learn about life".

Benarlah kata-kata ini "Having money and being savvy about it are not directly linked". Punya uang dan cerdas menggunakannya adalah dua hal yang berbeda, tidaklah saling berhubungan secara langsung. Tidak salah pula kalau Lakshmi Mittal, bilyuner India itu mengatakan bahwa uang bisa menjadi kutukan bagi anak-anak.

Apakah problem di atas hanya monopoli keluarga-keluarga sukses dan mampu?

Tidak juga!

Dari sejumlah cerita yang saya dengar dari mulut beberapa orang tua, mendidik anak terutama menyangkut uang bukan hanya menjadi persoalan keluarga yang sangat kaya saja. Ini problem rata-rata para orang tua. Hanya memang skala tantangan dan kesulitannya lebih besar tentu orang tua yang sangat kaya.

Kalau begitu, bagaimana? Beberapa tips dari TIME untuk Anda, orang tua dan Anda calon orang tua:

*      Baby on budget: latihlah dan biasakanlah anak-anak untuk menabung untuk kebutuhan-kebutuhan khusus sehingga ia bisa merasakan bahwa untuk memperoleh sesuatu harus ada pengorbanan tertentu; bahwa uang dan barang tidak datang dengan mudah. Jangan ragu untuk mengatakan "Tidak" dan "Nanti saja" untuk beberapa permintaannya.

*      Earning is learning: Doronglah anak-anak untuk bekerja dan menghasilkan uang bagi dirinya sendiri. Ini akan menumbuhkan kepercayaan dirinya sekaligus membuat dia mengenal kemampuannya.

*      Be a role super model: Keterlibatan Anda pada karya-karya amal kasih atau sikap tidak segan-segan menyumbang dan memberi kepada orang yang membutuhkan (misalnya kepada pengemis di jalan) menumbuhkan sikap kemurahan hati dan bersyukur tas apa yang dimiliki dalam diri anak-anak yang melihatnya. Jadilah teladan!

*      The Drift of thrift: jangan menghambur-hamburkan uang di mall. Tunjukkan kepada anak-anak bagaimana menggunakan uang secara bijaksana. Sekali lagi, jadilah teladan!

Selamat mempraktekannya. Semoga Tuhan membimbing dan menguatkan Anda sekalian dalam seluruh usaha dan perjuangan Anda.

Remember Our Saints: St. Thomas Aquino

0 komentar

Kemarin, 28 Januari, kita memperingati santo Thomas Aquino seorang imam dan pujangga Gereja. Siapakah dia?

Thomas lahir sekitar tahun 1225 sebagai anak ketujuh dan bungsu  dari keluarga kepala daerah Aquino. Pada umur lima tahun ia disekolahkan di biara Benediktin di Monte Kasino. Ia melanjutkan pendidikannya di Napoli, di mana ia masuk ordo santo Dominikus. Lalu ia mengakhiri studinya di bawah bimbingan santo Albertus Agung. Thomas lalu mengajar di pelbagai sekolah tinggi di Eropa, dan khususnya di Paris. Ia seorang sarjana teologi yang ulung, dan antara lain ia berhasil mendamaikan ilmu pengetahuan dan agama. Akhirnya Bapa Suci memanggil dia kembali ke Italia, di mana Thomas membuka sekolah tinggi teologi di Napoli. Waktu itu ia menulis buku pegangan teologi yang termahsyur, yakni Summa Theologica. Dalam perjalanan menuju konsili Lyon ia jatuh sakit dan meninggal pada tanggal 7 Maret 1247.

Dewasa ini kita semakin sulit mencari waktu untuk memperdalam pengetahuan tentang iman kita. Semoga teladan santo Thomas mendorong kita untuk mencari dan menemukan Allah.

(Dari: Anggota Keluarga Allah, 1974)

Kangen Mama

Selasa, Januari 27, 2009 0 komentar

"Siapakah ibu-Ku dan siapakah saudara-saudara-Ku? (Mrk. 3:33)

Tiga hari yang lalu seorang teman saya mengatakan kepada saya kalau ia sangat merindukan ibunya. "Biasanya kalau saya lagi kangen sama mama, mama juga pasti lagi kangen sama saya" ceritanya sambil menerawang. "Telpon aja beliau" saran saya.

Hari minggu yang baru saja berlalu sehabis misa di sebuah stasi, seorang ibu paruh baya datang menghampiri saya. "Frater, nanti tolong perhatikan anak saya ya. Dia nakalnya setengah mati. Siapa tahu dia mau dengerin frater". Anaknya tercatat sebagai salah seorang mudika stasi itu dan kebetulan sekarang saya dipercayakan oleh pastor paroki untuk mendampingi mereka. Saya mengiyakan permintaan sang ibu.

Seorang teman baik saya kadang-kadang berkeluh kesah tentang kelakuan saudara-saudaranya yang menyusahkan hatinya dan hati mamanya. Tetapi sekalipun menyusahkan, ia tetap menyebut mereka, "kakak-kakak aku".

Teman baik saya yang lain kadang-kadang juga berbagi perasaan tentang tingkah laku orang tuanya. Tetapi ia tetap menyapa mereka dengan "papa dan mama". Saya yakin ia tetap mencintai mereka dan menginginkan yang terbaik untuk mereka.

Itulah keluarga. Ada kemarahan, kebosanan, kekecewaan, putus asa dan sakit hati tetapi keluarga tetaplah keluarga: orang tua tetaplah tinggal sebagai orang tua, seorang anak tetaplah seorang anak, saudara tetaplah saudara. Tidak ada yang bisa mengubah kenyataan tersebut. Karena itu di tengah situasi memprihatinkan sekalipun dalam relasi antaranggota keluarga, selalu ada harapan, ada cinta dan ada pengampunan.

Itulah keluarga. Itulah yang mengagumkan dari keluarga. Dan yang seperti ini agak susah ditemukan dalam relasi-relasi lain.

Mengapa demikian?

Saya menduga penyebabnya adalah kontak batin yang dalam akibat hubungan darah. Kontak batin ini yang menyebabkan ibu dan anak bisa saling merindukan satu sama lain pada waktu yang nyaris bersamaan sekalipun terpisah ribuan kilometer. Kontak batin yang sama ini yang menyebabkan selalu ada cinta, harapan dan pengampunan ketika keluarga tiba pada masa-masa sulit.

Saya berdoa semoga Anda bisa mengatasi dan melewati masa-masa sulit dalam relasi dalam keluarga.

Tuhan tahu Anda sudah dan sedang berusaha semaksimal mungkin. Semoga Ia memberkati usaha dan niat baik Anda.

Remember Our Saints: St. Timotius dan St. Titus

Senin, Januari 26, 2009 0 komentar

Hari ini, 26 Januari, kita kenangkan dua murid dan teman kesayangan Paulus, yakni Timotius dan Titus.

Timotius bersama nenek dan ibunya dibaptis oleh Paulus. Kemudian ia menyertai Paulus pada perjalanan kerasulan, dan menjadi teman dan pembantu Paulus dalam menguatkan iman umat di Asia Kecil. Paulus menumpangkan tangan ke atasnya, dan akhirnya menyuruh Timotius memimpin umat di Efesus. Di kota itu juga Timotius meninggal dunia.

Jalan hidup Titus kurang lebih sama. Paulus mengutus dia ke Korintus untuk mendamaikan umat yang terpecah belah. Ia berhasil menenangkan suasana sehingga amat disukai oleh umat di Korintus. Titus lalu meneruskan usaha kerasulannya di pulau Kreta, rupanya sampai akhir hidupnya.

Hidup mereka berdua seluruhnya dibaktikan kepada karya kerasulan dan pewartaan Injil. Sekarang kitalah yang dipanggil untuk tugas yang sama. Semoga kita mendengarkan pangggilan Tuhan itu.

(Dari: Anggota Keluarga Allah, 1974)

By The Way: Being Boring

Kamis, Januari 22, 2009 0 komentar

[Suatu malam. Belum lama ini. Saya mengirim pesan pendek pada seorang teman meminta dia untuk menjadi penulis tamu (guest writer) di http://aruibab.blogspot.com a.k.a. blog saya. "Hahaha… Boleh2… Apa topiknya?" begitu jawabannya yang tiba sedetik kemudian. Saya memberi penjelasan singkat. "Tapi pake Inggris boleh? Gak bisa pake bahasa Indo… Hehehe". Jadi, inilah tulisan perdananya yang disumbangkan dan tulisan-tulisan lainnya yang akan menyusul kemudian. Semuanya hadir dengan kategori "By The Way" karena saya menduga ia hanya ingin membagi pengalamannya dan pelajaran apa yang ia petik dari sana. Selamat menikmati… ]

 

As I listened to a dear friend's favorite song, the lyrics really inspired me. As I quote the refrain "We were never being boring. We had too much time to find for ourselves. And we were never being boring… We dressed up and fought, then thought make amends. And we were never holding back or worried that time will come to an end. We were always hoping that, looking back you could always rely on a friend".

 

When I listened to the song the first few times… it came to me as just another song… however as life takes its toll and I was alone in the car and had the chance to really listen to it, I realize how the lyrics hit me.

 

I had the luxury to see few generations of my family live their lives. My grandma, myself, and my niece… and through every stage of every one's life, I could see how they live through their days… how they try hard not to being bored.

 

When I saw my niece, a three years old, I could see that she's never bored. She always finds new things that amuse her. Even a simple thing as a talking mouse dressed in red pants already amuses her. Her life is always just play and games… where in between she just get her nap. Maybe it's true… when you see and understand less… the more things will amuse you.

 

Then I see myself… a younger version of me and myself now. In my teenage years life is always fun and games for me… although with a bit more responsibilities than my three years old niece. But somehow I was never bored. I always find things to fill my time… whether its just simply hanging out in the steps outside of post office, or to have one single glass of drink at clubs… but I was never bored. And as for relationships… it is so never boring. It is just another way to fill my free time… argument is just something to do so that relationship will never being boring.

 

However as I grew older, I can see people around me are feeling bored. I lost count on how many times I've seen the status of my friends in a social site that says he/she is bored. In spite of all the things in life that I have the luxury to experienced, but I couldn't help to say that I myself sometimes feel bored. Where have all the fun and games gone?

 

Maybe it is true, that when you're not careful you'll have nothing left and nothing to care for. I've seen people in their older years taking steps as careless as my niece. However when you're young, you have all the time to learn and the chance to take the next more careful steps. But as you grow older, time and chances seems to be vanishing as fast as the speed of light. Every single step, every single decision you made has to be well calculated for and carefully made. Otherwise in the end you'll end up losing things and people that you care and treasure most. Which in the end you'll be left with nothing and nothing to care for.

 

And as you grow even older, even as old as my grandma who just turned 89 years old… you'll know that one thing that you could rely on is only your friends and family. I could see how she looses her friend one by one… how slowly she looses her smile and her laughter. Where she just watches things goes by without any expression on her face. However when she got the chance to visit her old friends, that was the only time I could hear my grandma laugh her heart out in a very long time. Where I could feel her happiness…. Her loneliness and boredom just disappeared.

 

All through our lives, we fought for existence… acknowledgement from others. Being invited to the hip parties, wearing the latest designer dresses, the next season's IT bags… all in the end would not help you from being bored. Maybe when we feel that the world is revolving too fast, when life is spinning to fast for you to handle… that is the time for you to stop.

 

Stand still… take a deep breath… and let your imagination runs wild. Be like a child for a moment, where simplest things inspired you… the blue sky amuses you, and the blossoming flowers takes your breath away. Then you'll cherish everything you have… relationships who help you grow, families who help you in every step of the way, and friends who you could rely on. By then maybe you'll stop feeling bored… and being boring.

— c3lz —

Remember Our Saints: Sta. Agnes

Rabu, Januari 21, 2009 0 komentar

Tanggal 21 Januari Gereja memperingati Santa Agnes, seorang perawan dan martir. Siapa dia?

Agnes seorang martir yang amat dihormati dalam Gereja. Ketika ia berumur dua belas tahun, pecahlah penganiayaan Gereja yang hebat. Banyak orang melepaskan imannya, sehingga keadaan umat Kristen di Roma amat menyedihkan. Agnes tetap setia kepada Kristus, dan karenanya menanggung penderitaan dan penganiayaan yang berat, sampai akhirnya dipenggal kepalanya. Orang Kristen semasanya amat menghormati dia karena ia begitu rela menyerahkan hidupnya yang muda itu demi Kristus.

Iman kitapun setiap hari diuji, pada cara yang mungkin kurang nyata. Janganlah kita lupa bahwa Kristus setiap hari berbicara kepada kita untuk menerangi kita. Marilah kita menaruh kepercayaan kepada Kristus.

(Dari: Anggota Keluarga Allah, 1974)

Novel, Mujair Woku, Sopir Mohawk dan Teman Lama

Senin, Januari 19, 2009 0 komentar

Manado, 17 Januari 2009. Di siang hari yang cerah (setelah hujan terus menerus beberapa hari sebelumnya).

Setelah membeli sebuah novel (atas rekomendasi seorang teman baik saya), saya berjalan menuju warung tak bernama yang jaraknya tak jauh, 25 meter kurang lebih, dari Gramedia Manado. Lapar. Sepiring nasi ditemani sayur kangkung lengkap dengan seekor mujair berukuran sedang dengan kuah kuning kental dan agak pedas (orang Manado menyebutnya mujair woku). Ini menu andalan saya—makan siang paling enak sedunia.

Keluar dari sana, saya menumpangi angkutan umum yang sopirnya sedang keranjingan mendengar lagu-lagu reggae—ini salah satu aliran musik favorit saya juga. Sopirnya baru berusia 20-an tahun. Apakah saya sudah mengatakan rambutnya ditata model mohawk? Yep, mohawk berwarna pirang. Sepanjang perjalanan pulang itu, hanya ada 3 orang di atas mobil itu: saya, seorang penumpang lain dan sopir gaul itu. Jadi saya bisa membaca beberapa halaman novel yang baru saya beli sambil mendengarkan lagu2 favorit saya.

Sore harinya, tanpa direncanakan, saya bertemu lagi (di dunia maya) dengan seorang teman yang lama sekali tidak ada kabar beritanya (cepat sembuh ya Dee).

Malamnya sehabis makan malam, saya menenggelamkan diri dengan novel baru itu. Sampai tamat. Malam itu juga. Saya biasanya dengan segera akan berhenti membaca di tengah jalan dan tidak lagi ingin menyelesaikannya lagi jika novelnya tidak menarik.

Ahhhh, what a day!

Hari sabtu kemarin memang hari yang penuh dengan kebahagiaan-kebahagiaan kecil.

Syukurlah ada kebahagiaan-kebahagiaan kecil seperti itu. Kalau tidak betapa membosankan hidup ini.

Semoga Anda ,hari ini, bahkan sepanjang minggu ini, dilimpahi dengan sejumlah kebahagiaan kecil.

Tuhan memberkati kita sekalian.

Remember Our Saints: St. Antonius

0 komentar

Tanggal 17 Januari, dua hari yang lalu, Gereja memperingati Santo Antonius, seorang Abas (kepala para pertapa). Bagaimana riwayat santo ini?

Antonius lahir di Mesir sekitar tahun 250. Keluarganya kaya, dan kedua orang tuanya meninggal waktu Antonius baru 20 tahun umurnya. Pada suatu hari ia mendengar sabda Injil ini, "Jikalau engkau hendak menjadi sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin. Kemudian ikutlah Aku". Maka Antonius meninggalkan segalanya dan berangkat ke padang gurun. Segala kesukaran dan godaan yang dialami di situ tidak mematahkan semangatnya, tetapi sebaliknya makin menguatkan panggilan hidupnya. Banyak orang menjadi muridnya dan mencari bimbingannya. Ia meninggal dunia pada tanggal 17 Januari 356 dalam umur seratus tahun lebih.

Kehidupan di padang gurun amat berat, namun banyak orang mengikutinya. Semoga kekuatan Injil juga menolong kita untuk memberi kesaksian tentang Kristus dan berjerih payah demi kerajaan Allah.

(Dari: Anggota Keluarga Allah, 1974)

Terlalu Mencintai Anak

Jumat, Januari 16, 2009 0 komentar

Di antara sekian banyak lagu Queen, "Too much Love Will Kill You" adalah lagu favorit saya. (Anda harus mendengarnya kalau belum). Sangat menggugah pesannya: silahkan mencintai, tapi jangan berlebihan, karena bisa mematikan.

Mematikan siapa dan apa?

Pernah saya mengantar seorang romo ke bandara. Di luar rencana, bersama dengan saya seseorang lain: bocah berumur 4 tahun! Ia anak pak sopir kendaraan yang kami tumpangi. Tidak banyak yang bisa diceritakan dari perjalanan mengantar itu. Biasa saja. Termasuk perasaan saya. Justru ketika di bandara, cerita sebenarnya dimulai. Di bandara yang sibuk itu saya harus menjaga si kecil ini. Tidak terlalu lama memang, 25 menit, kalau tidak salah. Tetapi, entah mengapa, itu 25 menit paling menegangkan dalam hidup saya. Melihat dia berjalan ke sana kemari, barangkali karena didorong rasa ingin tahu akan dunia, saya jadi cemas sendiri. Malah takut. (Heran). Berkali-kali saya harus mengikutinya. Memanggilnya kembali. Melarangnya. Syukurlah bapaknya muncul. Fiuh…

Setelah waktu deg-degan itu berakhir, saya bertanya pada diri sendiri "Kok bisa?". Jawabannya ini: saya terpengaruh dengan berita-berita penculikan anak yang marak beberapa waktu yang lalu. Juga (hehehehe, jadi malu) film-film tentang penculikan yang saya tonton. Hasilnya, ya, kecemasan berlebihan begitu harus menjagai anak kecil. Tetapi seperti kata orang, selalu ada blessing in disguise. Blessing-nya saya langsung bisa memahami mengapa ada sekian banyak orang tua yang demikian protektif terhadap anaknya. Bahkan overprotektif. "Anak adalah segalanya; saya mencintainya dan hanya ingin yang terbaik untuknya; jangan sampai terjadi apa-apa padanya, bla-bla-bla". Ok. Tetapi seperti kata Queen, "Too much love will kill you".

Begitu Anda (orang tua) terlalu mencintai anak, Anda mematikan dua orang sekaligus: Anda dan anak Anda sendiri. Anda mematikan kepekaan dalam diri Anda terhadap kebutuhannya untuk bertumbuh dan berkembang. Di samping itu, tak kalah berbahayanya, Anda mematikan potensi-potensi anak yang Anda cintai mati-matian itu.

Saya bertemu dengan beberapa anak yang sangat tertutup, tidak percaya diri (padahal ganteng dan cantik minta ampun) atau nakalnya minta ampun (atau susah dapat jodoh?) karena cinta orang tua yang berlebihan: terlalu memproteksinya atau terlalu memanjakannya.

Kalau dipikir-pikir, susah juga jadi orang tua ternyata. Sedikit mencintai salah, terlalu cinta juga salah. Saya berdoa untuk Anda semua, para orang tua, agar bijaksana mencintai anak. Bagaimanapun cinta anda tetap dibutuhkan.

Seperti Memelihara Ular

Selasa, Januari 13, 2009 1 komentar

Alkisah, seorang pemain sirkus masuk ke hutan mencari anak ular yang akan dilatih bermain sirkus. Beberapa hari kemudian ia menemukan seekor anak ular. Sekembalinya dari hutan latihan pun dimulai. Mula-mula anak ular itu dibelitkan pada kakinya. Setelah ular itu lebih besar, ia dilatih untuk permainan yang lebih berbahaya seperti melilit di tubuh sang pemain sirkus.

Setelah dilatih dengan baik, sang pemain sirkus pun mempertunjukkan kebolehannya di depan umum. Hari demi hari jumlah penontonnya makin banyak. Uang yang mengalir ke kantongnya pun semakin banyak.

Suatu hari permainan segera dimulai. Satu demi satu atraksi dipertontonkan silih berganti. Semua penonton bertepuk tangan tidak putus-putusnya setiap akhir pertunjukkan. Akhirnya, tibalah acara yang mendebarkan, permainan ular. Sang pemain sirkus memerintahkan ular untuk membelit di tubuhnya. Seperti biasa, ular itu menjalankan perintah. Ia mulai membelitkan tubuhnya sedikit demi sedikit pada tubuh tuannya. Makin lama makin keras lilitannya. Pemain sirkus itu mulai kesakitan. OIeh karena itu, ia memerintahkan ular itu untuk melepaskan lilitannya, tetapi ular itu tidak taat. Sebaliknya, ia semakin liar dan lilitannya semakin kuat. Para penonton menjadi panik ketika terdengar jeritan kesakitan dari mulut sang pemain sirkus. Akhirnya, ia meninggal dalam belitan ular.

Dosa itu seperti ular. Kita jarang menyadari bahayanya sampai dosa itu semakin besar dan melilit kita. Dan pada gilirannya "membunuh" kita. Ketika kita tidak bertobat, itu seperti memelihara ular. Tinggal menunggu waktu saja sampai ia menumpuk, menjadi besar dan… celakalah kita.

CLiGspiration: Belajar Menyukai Diri Anda Sendiri

Senin, Januari 12, 2009 0 komentar

Kita semua mempunyai bagian-bagian dalam diri kita yang perlu diperbaiki, tetapi selama kita terus maju, bangun setiap hari dan melakukan yang terbaik dari kita, kita bisa memastikan bahwa Tuhan disenangkan karena kita. Ia mungkin tidak suka pada setiap keputusan yang kita buat tetapi Ia mengasihi kita. Saya tahu ini sulit dipercaya oleh beberapa orang, tetapi Tuhan ingin kita merasa nyaman dengan diri kita sendiri. Ia ingin kita merasa aman dan mempunyai citra diri yang sehat, tetapi begitu banyak orang memusatkan perhatian pada kesalahan dan kelemahan mereka. Saat mereka membuat kesalahan-kesalahan, mereka bersikap sangat kritis terhadap diri sendiri. Mereka hidup dengan perasaan terganggu dan mengatakan, "Kamu tidak seperti seharusnya. Kamu tidak cukup baik. Kamu terlalu sering gagal".

Ketahuilah bahwa Tuhan tahu Anda tidak akan menjadi sempurna. Ia tahu bahwa Anda akan mempunyai kelemahan, dan keinginan yang salah—Ia tahu semua itu sebelum Anda dilahirkan—dan Ia tetap mengasihi Anda.

Salah satu dari hal-hal terburuk yang Anda bisa lakukan adalah menjalani kehidupan dengan menentang diri Anda sendiri. Ini adalah masalah utama pada masa kini. Banyak orang mengalami suatu peperangan dalam diri mereka sendiri. Mereka benar-benar tidak menyukai siapa mereka sebenarnya. "Yah, aku memang lamban, aku tidak disiplin, aku tidak menarik, dan aku tidak sepandai orang-orang lain". Mereka memusatkan perhatian pada kelemahan-kelemahan mereka, dengan tidak menyadari bahwa introspeksi negatif ini adalah akar penyebab dari banyak kesukaran mereka. Mereka tidak bisa menyesuaikan diri dalam hubungan-hubungan, mereka merasa tidak aman, mereka tidak menikmati kehidupan mereka, dan sebagian besar disebabkan mereka tidak berdamai dengan diri mereka sendiri.

Yesus berkata, "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." Perhatikanlah, syarat untuk mengasihi orang lain adalah mengasihi diri Anda sendiri. Jika Anda tidak menghargai diri sendiri, dan Anda tidak belajar menerima diri sendiri apa adanya dengan kesalahan-kesalahannya, Anda tidak akan pernah mampu mengasihi orang lain dengan benar. Sayangnya, kebencian terhadap diri sendiri menghancurkan banyak hubungan pada masa kini.

Saya telah bertemu dengan banyak orang yang mengira bahwa pasangan mereka adalah penyebab mereka tidak bisa menyesuaikan diri dalam pernikahan mereka. Atau mereka merasa yakin bahwa itu adalah kesalahan rekan kerja mereka, tetapi kenyataannya adalah mereka mengalami suatu peperangan dalam diri mereka sendiri. Mereka tidak menyukai rupa mereka, mereka tidak menyukai tempat mereka tinggal, mereka marah karena mereka belum mematahkan kebiasaan buruk, dan racun itu tertumpah pada hubungan mereka yang lain.

Pahamilah, Anda tidak bisa memberikan apa yang Anda tidak miliki. Jika Anda tidak mengasihi diri Anda sendiri, Anda tidak akan mampu mengasihi orang lain. Jika Anda sedang berperang dalam diri sendiri, merasa marah atau tidak aman dengan diri sendiri, merasa tidak menarik, merasa terhukum, maka hanya itulah yang bisa Anda berikan. Di lain pihak jika Anda mau mengakui bahwa Tuhan memang sedang bekerja dalam diri Anda, dan walaupun Anda mempunyai cacat dan kelemahan, Anda bisa belajar untuk menerima diri Anda sendiri, maka Anda bisa memberikan kasih itu dan mempunyai hubungan yang sehat.

Prinsip dasar ini bisa menyelamatkan pernikahan Anda; itu bisa mengubah hubungan Anda dengan orang-orang di sekitar Anda. Anda mengira bahwa orang lain adalah masalahnya, tetapi sebelum Anda bisa membuat kemajuan yang berarti dalam kehidupan, Anda harus berdamai dengan diri Anda sendiri. Sadarilah bahwa jika Anda bersikap negatif pada diri Anda sendiri, itu bukan saja akan mempengaruhi Anda; itu juga akan mempengaruhi setiap hubungan yang Anda punyai, dan akan mempengaruhi hubungan Anda dengan Tuhan.

Itulah sebabnya mengapa begitu penting bagi Anda untuk merasa nyaman dengan siapa Anda sebenarnya. Anda mungkin mempunyai kelemahan-kelemahan. Anda mungkin mempunyai beberapa hal yang Anda harap bisa Anda ubah. Ya, selamat bergabung. Kita semua demikian. Tapi jangan sedih dan berhentilah bersikap begitu keras terhadap diri Anda sendiri. Memang menarik, kita mungkin tidak pernah mengkritik orang lain atau mengatakan kepada orang, "Kamu benar-benar bodoh; kamu tidak menarik, kamu tidak disiplin. Aku tidak menyukaimu." Tetapi kita tidak mempunyai masalah untuk mengatakannya kepada diri kita sendiri. Tetapi pahamilah bahwa saat Anda mengkritik diri Anda sendiri, Anda sedang mengkritik ciptaan Tuhan yang tertinggi.

(Dari: Joel Osteen, Become A Better You, 2008)

Nama Baik

Rabu, Januari 07, 2009 0 komentar

Hari ini saya hanya ingin berbagi cerita dengan Anda. Jadi, selamat membaca. Jangan lupa menarik pelajaran darinya.

Alkisah pada suatu ketika, Angin, Air dan Nama Baik mengadakan perjalanan bersama. Angin, seperti biasa datang dengan terburu-buru seperti orang yang sedang marah. Bisa melompat di sini dan menendang debu di sana. Air berjalan dalam bentuk seorang putri. Ia selalu membawa kendi di tangannya dan selalu meneteskan air di tanah di sekitarnya. Nama Baik mengambil wujud seorang pemuda tampan dengan sikap yang baik, namun sedikit pemalu.

Mereka saling menyukai meskipun mereka saling berbeda satu dengan yang lain. Ketika mereka harus berpisah, mereka saling bertanya, "Kapan kita bisa bertemu untuk mengadakan perjalanan yang lain lagi?"

Angin menjawab, "Engkau akan selalu menemukan aku di puncak gunung-gunung atau melompat-lompat di sekitar kakimu, meniup debu ke mana engkau pergi".

Air menjawab, ":Aku juga akan selalu ada di sekitarmu. Kamu bisa pergi ke laut atau ke sungai, bahkan ke dapur untuk menemuiku".

Nama Baik tidak mengatakan apa-apa. Angin dan Air bertanya, "Nama Baik, kapan dan di mana kita akan bertemu lagi?"

Nama Baik menjawab, "Kamu tidak akan bertemu aku lagi di manapun. Siapapun yang pernah kehilangan aku sekali saja, tidak akan pernah bisa mendapatkan aku lagi".

Menengok Saudara-Saudari Kita

Selasa, Januari 06, 2009 0 komentar
Saya diutus untuk melayani selama masa Natal di Stasi Rerer yang terletak di desa Rerer, di Tondano yang secara administratif berada di kabupaten Minahasa. Udaranya sejuk. Kurang lebih 1000-an jiwa di desa ini.



Dari jumlah itu, 22 kepala keluarga di antaranya beragama Katolik. Mereka tergolong minoritas di desa ini. Mayoritasnya Protestan. Tapi syukurlah, mereka tidak tertutup dan minder. Sebaliknya, mereka sangat aktif dalam hidup bermasyarakat, dikenal di masyarakat dan cukup disegani. Kebanyakan dari mereka petani. Nah, di mana saudara-saudari kita beribadah setiap hari minggu? Perkenalkan Gereja Rerer...


(ket. gereja yang di tengah)

Bangunan kecil, sederhana, dan masih dalam tahap pembangunan (yang sudah memakan waktu bertahun-tahun, katanya). Yesus mengunjungi kami di tempat ini... Gloria in Excelcis Deo.

Bukan Rokok yang Mematikan

0 komentar

Siapa bilang rokok, narkoba, minum keras, daging + lemaknya, dan fastfood itu mematikan?

Bulan lalu jurnal kesehatan Operations Research di Amerika mempublikasikan hasil penelitian yang diadakan oleh Ralph Keeney dari Duke University. Ternyata pembunuh utama orang Amerika bukanlah kanker, serangan jantung, atau merokok dan makan berlebihan seperti asumsi kebanyakan kita di sini juga. Pembunuh sebenarnya adalah ketidakmampuan orang Amerika untuk membuat pilihan cerdas dan bijak sehingga terserang berbagai macam penyakit yang mematikan itu. Kanker dan lain sebagainya merupakan hasil dari pilihan yang diambil.

Simak kata-kata Keeney, "Setiap tahun jutaan orang meninggal hanya karena pilihan hidup yang mereka tempuh. Artinya setengah dari populasi akan mengambil keputusan yang hanya akan mengarahkan mereka menuju kematian. Itu termasuk 55 persen yang meninggal di kisaran umur 15 sampai 64".

Menyimak hasil penelitian itu, saya tak ragu untuk mengatakan, "Bukan di Amerika saja pembunuh nomor satu sebenarnya tak lain daripada diri sendiri. Di sini juga!".

Ini soal memilih dan memutuskan secara cerdas dan bijak, bukan hanya apa yang akan kita konsumsi. Terlebih-lebih apa yang baik dan berguna untuk hidup kita, kesehatan kita, karir kita dan hubungan kita dengan orang-orang yang kita cintai.

Hidup ini adalah pilihan. Cerdas dan bijaklah memilih hanya yang baik dan berguna.

Harap Anda tidak membuat pilihan bodoh hari ini. Tentu saja, dan seterusnya. Karena apa gunanya Anda berdoa mati-matian minta kesehatan dan umur yang panjang? Apa gunanya Anda berdoa mohon kelancaran karir? Apa gunanya Anda berdoa untuk kelanggengan hubungan dengan mereka yang Anda cintai.

Bukan kanker, serangan jantung, rokok, narkoba, minum keras, daging + lemaknya, dan fastfood yang mematikan. ANDA SENDIRI.

Cerdaslah memutuskan!

Bukan Soal Global Warming

Senin, Januari 05, 2009 0 komentar

Tulisan ini menyerempet isu global warming. Tapi, tenang. Saya tidak akan membahas isu yang sedang nge-tren itu. Lalu apa? Simak dulu paragraf pendek di bawah ini.

Pada musim gugur 2005, British Airways mengumumkan akan memberi peran kepada para penumpang dalam membantu membenahi iklim dunia dengan membayar harga tiket pesawat lebih tinggi. Uang tambahan itu akan digunakan sebagai kompensasi atas emisi karbon yang timbul akibat perjalanan mereka. Ternyata kurang dari satu di antara 200 penumpang yang bersedia berpartisipasi. Ini kelihatannya tidak sejalan dengan jawaban yang diberikan orang dalam jajak pendapat mengenai perubahan iklim. Namun, apakah ini sejalan dengan apa yang disebut para ekonom sebagai "preferensi terungkap" (sebuah gagasan bahwa bicara itu mudah, tapi panduan terbaik mengenai apa yang sebenarnya diyakini orang adalah putusan yang diambil orang saat berkenaan dengan uang)?

Saya mengutip paragraf pendek ini dari buku terbaru peramal (bukan kelas paranormal infotainment kita tapi kelas dunia dengan metode ilmiah yang ketat), John Naisbitt berjudul "Mindset" (2007). Tidak ada data di sana mengenai hasil jajak pendapat yang disebut oleh Naisbitt. Tebakan saya adalah ketika ditanya "apakah Anda bersedia terlibat dalam penanganan masalah perubahan iklim dunia?" pastilah jawaban sebagian besar orang "ya, saya bersedia".

Bayangkanlah ini. Jika Anda diajukan pertanyaan serupa, taruhlah yang bertanya kepada Anda seorang Nugie atau Glenn Fredly, apa jawaban Anda. Tebakan saya adalah jawaban Anda mungkin akan serupa pula dengan kebanyakan orang yang sudah diteliti. Oke. Kelanjutannya adalah sehari setelahnya terbitlah peraturan ini, "DEMI MELINDUNGI KEHANCURAN BUMI KITA DARI PEMANASAN GLOBAL, TARIF PARKIR DAN TARIF MASUK TOL DINAIKAN SEBESAR 50 %". Anda setuju? Masih tetap bersedia? Hehehe…

Poinnya sederhana saja: ketika kita harus mengorbankan sesuatu yang berharga, keputusan untuk melakukan sesuatu yang lain menjadi jauh lebih sulit. Ini bukan hanya soal uang tetapi bisa juga kebiasaan-kebiasaan tertentu (Anda bisa menambahkan sendiri hal-hal lain yang sulit dikorbankan). Tahukah Anda mengapa resolusi Anda di awal tahun kemarin tidak berhasil diwujudnyatakan? Mengapa susah untuk menjadi orang baik? Mengapa susah menjadi dewasa? Mengapa susah untuk menjadi lebih sabar? Mengapa sudah untuk menjadi lebih disiplin? Mengapa susah untuk lebih banyak mendengarkan? Mengapa susah untuk lebih banyak memberi dan menyumbang?

Anda belum siap berkorban.

Nah, jika di awal tahun ini Anda punya beberapa resolusi (yang, ehm, sama lagi), semoga Anda sudah tahu dari mana harus memulai langkah pertama untuk mewujudkannya.

Sebelum berkorban, pikirkan hasil akhirnya, itu akan menjadi motivasi yang hebat untuk melangkah dan tentu saja hiburan ketika datang masa-masa ingin menyerah.

Orang bilang, "Hidup ini butuh pengorbanan". Tanggapan saya, "Emang!". Tidak ada makan siang gratis.

Yesus saja mengorbankan ke-Allah-an-Nya dengan turun dan tinggal di tengah kita sebagai manusia. Coba kalau seandainya Ia tidak suka berkorban? Seandainya saja Ia Tuhan yang egois? Mungkin kita tidak bisa sungguh-sungguh merasakan dan memahami apa artinya Immanuel, Allah beserta kita. Mungkin juga tidak seorangpun dari kita yang selamat.

Mungkin seharusnya resolusi pertama tahun baru kita adalah BERANI BERKORBAN.