Pelajaran Seribu Perak

Jumat, Mei 29, 2009

Panjang rambutnya setengah mungkin satu sentimeter. Kulitnya gelap. Umurnya mungkin 30-an dengan bibir yang hitam karena rokok. Tingginya 160-an sentimeter. Wajahnya begitu familiar karena saya sering menumpang mobilnya kalau pergi ke Manado atau pulang dari Manado. Hanya saja saya tidak pernah menanyakan namanya. Sore ini saya menumpang lagi mobilnya sepulang dari Manado. Duduk di belakangnya, saya baru memperhatikan, ada tato di lengan kirinya: tato hati ("Mungkin dia tipe melankolis" pikir saya). Tato melankolis itu tidak terlalu besar untuk sekedar pamer tetapi juga tidak terlalu kecil sehingga bisa terlihat dengan jelas.

Di dalam mobil angkot berkapasitas 10 orang itu hanya terisi setengahnya: pak supir bertato melankolis ini dan 4 orang penumpang termasuk saya. Duduk di depan bersama dia, seorang bapak separuh baya.

"Muka". Terdengar suara bapak paruh baya itu. Pak supir memperlambat laju mobilnya dan berhenti. (Sebagai informasi, "Muka" di Manado sama artinya dengan "Kiri" di Jakarta).

Bapak separuh baya itu turun sambil menyodorkan beberapa lembar seribuan. Dan langsung berlalu pergi.

"Om, om…" panggil pak supir. Bapak paruh baya itu menoleh dan mendekat lagi ke jendela mobil.

"Ta lebe saribu" katanya sambil menyerahkan selembar uang seribu. ("Kelebihan seribu rupiah").

Si 'Om' berlalu pergi lagi dalam diam setelah mengambil uangnya.

"Om, om…" panggil pak supir. Lagi.

Si 'Om' menoleh dan mendekat. Lagi.

Pak supir menjulurkan tangannya menyerahkan beberapa keping uang logam. Masih ada uang kembaliannya ternyata.

Si 'Om' menerima. Berlalu pergi lagi. Dalam diam lagi.

"Tu saribu deng kembalian ambil jo tare. Tu om lagi so bajalang kwa" kata salah satu penumpang ketika angkot yang kami tumpangi sudah bergerak lagi. ("Ambil aja seribunya, lagian juga si om udah jalan ini").

Penumpang lain menimpali. Setuju, intinya.

"Cuma saribu lei kong bikin kita berdosa. Cuma saribu lei kong bikin kita pikiran trus malam ini" balas pak supir. Tak ada nada penyesalan dalam suaranya. ("Masa gara-gara seribu perak saya berbuat dosa. Masa gara-gara seribu perak saya gak tenang malam ini").

Wow…

Di tempat tak terduga, waktu tak terduga dan orang tak terduga, saya belajar tentang kejujuran. Bahwa orang tidak tahu atau tidak peduli, itu tidak bisa dan tidak boleh menjadi alasan untuk tidak jujur.

Sewaktu turun dari mobilnya, saya tidak lagi menganggap pak supir ini sebagai hanya-salah-seorang-supir-angkot.

Pak supir ini guru saya sore ini. Ia manusia terhormat.

Tak sia-sia ia sampai memiliki dua hati.

Saya akan berkenalan dengannya kalau saya menumpang lagi mobilnya.

"Terima kasih, pak. Tuhan memberkati segala usaha dan kerja keras Anda". Amin.