"Kalau kamu mengidap asma, bronkritis itu datang dan pergi seperti flu".
Begitu kata dokter spesialis penyakit dalam ketika saya pergi menemuinya beberapa waktu yang lalu. Setelah menunggu kurang lebih 2 jam (nasib pasien, apa boleh buat)
Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Pak dokter separuh baya yang ramah luar biasa itu menenangkan saya.
"Da ba pikir apa do ini?" (Lagi banyak pikiran ya?)
"Nyanda no, cuma banya tugas kuliah" (Enggak kok, cuman banyak tugas kuliah).
Setelah sesi tanya jawab itu yang supersingkat itu, dia sibuk menulis resep. Dan menyodorkannya kepada saya.
"Obat-obat apa ini dok?" Hanya ada dua jenis obat yang tertulis di sana.
"Yang satu sirup for kase lancar pernafasan. Jadi cuman minum kalo rasa nafas sasak. Satu leper cuman ne". (Yang satu melancarkan pernafasan. Hanya diminum kalau sesak nafas. Satu sendok makan cukup).
"Yang satu lagi?"
"Oh, yang itu for redakan stres. Karna kalo bronkritis, laen kali karna stress". (Oh, yang itu untuk redakan stres. Karena sering bronkritis kambuh karena stres).
Apa?
Rasanya saya ingin bertanya, "Lagi becanda ya dok?". Tapi tampangnya serius sewaktu mengatakannya. Sangat.
Setelah menukar resep itu di apotek saya menatap butiran pil di tangan saya.
Obat stress?
Padahal saya benar-benar yakin kalau saya tidak sedang stress. Tugas kuliah memang banyak. Tapi stres? Mmmmm….
Dalam perjalanan pulang, setelah bisa menenangkan diri dari rasa terkejut akibat diagnose dokter, saya mulai berpikir.
Taruhlah saya stres—ya sudah, kadang-kadang dokter suka sok tahu. Berarti penyebabnya dari diri sendiri; masalahnya ada di dalam pikiran saya sendiri. Tapi mengapa solusinya mesti datang dari luar? Mengapa mencari kesembuhan (kalau stres itu bisa dikategorikan sebagai sakit) dari pil-pil ini?
Aneh.
Mungkin ini sebabnya stres, kesepian, kekosongan dan kekeringan dalam jiwa kita jadi berlarut-larut karena kita sering mencari solusi instan di luar diri kita.
Suatu malam. Sembilan tahun yang lalu. Seorang teman saya sedang mencari pena yang, menurutnya, jatuh entah di mana di tempat itu. Melihat dia sibuk sendiri merunduk dan mencari-cari, datang seorang teman saya yang lain lagi yang penasaran.
"Sedang apa?"
"Cari pena!"
"Kenapa cari di tempat yang gelap? Cari di tempat yang terang dong, yang ada lampunya!".
Bodoh, bukan?
Kadang-kadang kita suka salah alamat: mencari pena di tempat yang terang. Padahal jatuhnya di tempat yang gelap.
Masalahnya di mana, cari solusinya di mana.