Saya tidak tahu persis umurnya berapa. Siapa yang menanamnya. Apakah memang sengaja ditanam. Atau tumbuh dengan inisatif sendiri. Yang pasti pohon nangka ini tidak henti-hentinya berbuah. Tak henti-hentinya seperti kata pepatah mati satu tumbuh seribu.
Ia berdiri tegak di ujung tempat tinggal kami. Di depan deretan kamar mandi.
Dua hal tentang nangka ini.
Pertama, hal istimewa. Kerimbunan daunnya sungguh-sungguh menjadi penolong bagi kami ketika panas matahari menyengat di siang hari.
Kedua, hal menyebalkan. Ketika tiba masanya, buahnya demikian ranum, masak lengkap dengan aroma yang sangat menggoda. Sempurna, pokoknya. Hanya saja kami tidak pernah bisa (dan belum pernah) menikmatinya. Biar secuilpun. Buah-buahnya membusuk persis sebelum kami bisa menikmatinya dan jatuh begitu saja (sesekali menimpa atap kamar mandi atau kamar frater-frater). Sudah busuk, merusak atap pula. Menyebalkan. Banyak cara sudah kami lakukan tetapi sejauh ini tidak ada yang berhasil. Kadang-kadang kami merasa pohon nangka ini menertawakan usaha kami.
Akhir-akhir ini kami mulai tergoda untuk berpikir apakah tidak lebih baik jika ditebang saja. Alasannya, "Untuk apa memeliharanya jika buahnya tidak bisa kita nikmati?". Daun-daunnya yang berguguran juga cukup merepotkan kami tiap pagi.
Kalau dipikir-pikir kasus pohon nangka kami ini sama seperti kue terenak sedunia yang dikeluarkan dari oven hanya untuk dibuang ke tempat sampah. Sayang sekali.
Kalau dipikir-pikir lebih dalam lagi, kasus pohon nangka kami ini sama seperti kita yang punya bakat dan potensi tetapi tidak pernah dikembangkan sehingga tidak pernah menghasilkan sesuatu yang baik untuk banyak orang.
Bakat, cek.
Potensi, cek.
Kemampuan, cek.
Keterampilan, cek.
Sumber daya, cek.
Tapi membusuk dalam diri sendiri.
Saat menulis ini, saya bertanya-tanya kepada diri sendiri: jika saya tidak berkembang sesuai potensi saya, berapa banyak orang akan tergoda untuk berpikir, "Untuk apa memeliharanya jika buahnya tidak bisa kita nikmati?"
Untuk apa kita diciptakan?