Saya pernah membaca pertanyaan, "Kalo bisa memilih, dengan siapa Anda ingin seruangan?". (Kadang-kadang, kita memang tidak bisa bebas menentukan pilihan bahkan ketika pilihan itu hanya menyangkut seruangan dengan siapa).
Jawaban saya adalah: seorang dokter dan seorang psikiater.
Bukan. Buang jauh-jauh pikiran itu. Saya tidak sakit fisik apalagi psikis (jauhkan ya Tuhan).
Haya saja, akhir-akhir ini, entah mengapa, saya benar-benar penasaran: bagaimana rasanya menjadi seorang dokter dan psikiater.
Maksud saya kita hanya ingin berurusan dengan orang-orang dari profesi itu ketika sakit. Dan segera setelah sembuh orang-orang ini tidak pernah lagi terlintas di benak kita.
Beberapa kali saya harus bertatap muka dengan dokter. Saya datang dengan sejumlah keluhan mulai dari yang ringan-ringan seperti demam sampai yang parah (menurut saya) seperti asma dan, ya, sakit gigi. Tetapi sesudah semuanya itu berlalu, tidak pernah terpikirkan barang sedetik pun dalam benak saya untuk datang ke tempat praktiknya dan mengucapkan terima kasih. Tidak pernah. Paling tidak sampai saya menulis artikel ini.
Seingat saya, saya biasanya mengucapkan terima kasih juga di ujung percakapan kami setelah resep obat diserahkan. Tapi ya, kalimat apalagi yang pantas diucapkan sebelum "permisi dokter". Jadi terima kasih yang di ujung itu kebanyakan demi urusan sopan santun belaka. Basa-basi.
Mungkin uang sebagai imbalan bisa membayar jasanya. Tapi apakah itu setara dengan ucapan terima kasih yang tulus? Bukankah ada yang tidak bisa dibeli dengan uang?
Jadi, kalo suatu saat saya seruangan dengan dokter dan psikiater, saya hanya ingin tahu: bagaimana rasanya dikunjungi orang-orang hanya ketika mereka sakit dan dilupakan segera begitu sudah sembuh; bagaimana rasanya tidak selalu mendapat ucapan terima kasih yang tulus karena telah membantu proses penyembuhan.
Akhir-akhir ini pula dan entah mengapa pula, rasa penasaran saya melebar: saya penasaran juga kepada Tuhan. Nanti di surga (kalo saya masuk surga, amin), hal pertama yang ingin saya tanyakan adalah, "Bagaimana rasanya diingat hanya ketika kami sedang dalam masalah atau ingin sesuatu? Bagaimana rasanya kalo kami lupa bersyukur begitu doa kami Kau kabulkan?"
Penasaran saja.
Mungkin Tuhan hanya tersenyum. Tapi bisa juga Ia menjawab, "Biasalah, namanya juga manusia".
Apa tebakan Anda?