Akhir-akhir ini, pertanyaan ini menyita perhatian saya, "Mana yang ada lebih dahulu: iman atau tanda?"
Ini persoalan telur dan ayam.
Pernah suatu waktu seorang teman setengah berkeluh kesah. Katanya, dia sedang jatuh cinta mati-matian kepada seseorang. Dan seperti biasanya, ia memberikan segudang perhatian. Hanya saja, respon dari orang yang dijatuhi cintanya ini biasa saja. Ia menganggap perhatian teman saya ini wajar saja karena tokh mereka berteman akrab. Akhirnya, tidak ada pilihan lain bagi teman saya ini selain mundur teratur.
"Dia tidak merasakan hal yang sama seperti yang saya rasakan". Dia menarik kesimpulan sendiri. Mereka masih tetap berteman.
Waktu lain, saya mendengarkan keluh kesah dari seorang teman saya yang masih remaja. Seperti biasa problem remaja, sudah mulai menginginkan kebebasan tapi masih dilarang orang tua. Tetapi yang menarik di ujung keluh kesahnya, ia dengan yakin mengatakan, "saya tau frat kalo ortu ngelakuin itu karena sayang ama saya".
Apa yang bisa dipetik dari kedua kisah ini? Dan apa pula hubungannya dengan persoalan telur-ayam di atas?
Taruhlah kesimpulan teman saya dalam kisah pertama benar. Maka jelas saja respon biasa saja. Ia tidak merasakan hal yang sama. Ia tidak jatuh cinta kepada teman saya. Tidak ada keyakinan dalam dirinya bahwa teman saya mati-matian mencinta dia. Maka apapun yang dilakukan teman saya tidak merubah apapun. Sebanyak apapun tanda cinta yang diperlihatkan teman saya hasilnya seperti menabur garam ke laut.
Sebaliknya, karena yakin bahwa orang tuanya mencintainya dan menginginkan hanya yang terbaik untuknya, teman saya dengan sederhana menafsirkan tindakan orang tuanya sebagai tanda cinta. Bayangkan, kalo saja teman saya ini tidak yakin orang tuanya mencintainya mungkin ceritanya akan lain sama sekali.
Jadi, mana yang lebih dahulu: iman atau tanda?
Mari menengok pengalaman kita.
Saya misalnya.
Ketika saya berdoa dengan segenap keyakinan bahwa Tuhan mencintai saya, bahwa Ia menginginkan hanya yang terbaik untuk saya, bahwa Ia mendengar doa saya dan akan mengabulkan pada saat yang tepat, cerita selanjutnya jauh lebih menarik.
Dengan segera saya akan melihat banyak tanda yang menunjukkan bahwa Tuhan memang sungguh-sungguh mendengar doa. Pertemuan dengan orang tertentu yang mencerahkan atau kejadian tertentu yang memberi inspirasi bagi masalah yang sedang saya hadapi adalah tanda-tanda atau jalan-jalan yang dengan mudah saya lihat sebagai cara Tuhan menjawab doa saya.
Sebaliknya, ketika saya berdoa tetapi tidak meyakini kuasa Allah yang melampaui segala sesuatu yang mustahil, cerita selanjutnya penuh dengan penantian tak berujung.
Sudah ada banyak tanda yang berseliweran di depan mata saya, hanya saja ketidakpercayaan (kurang iman) membutakan mata saya. Lalu dengan putus asa saya menarik kesimpulan sembarangan, "Buat apa percaya kepada Tuhan?" Padahal jelas-jelas start awal saya buruk. Ironis memang.
Jadi, mana yang lebih dahulu: iman atau tanda?
Dalam salah satu perikop Injil (Mrk. 8:11-13), orang-orang Farisi meminta pada Yesus suatu tanda dari surga. Yesus berkata kepada mereka, "Sesungguhnya kepada angkatan ini sekali-kali tidak akan diberi tanda".
Yesus benar.
Kalau orang mengawali sesuatu dengan tidak percaya, mau dikasih seribu tanda yang kongkrit, bisa dilihat, bisa dipegang macam manapun, tidak ada gunanya.
Jadi, beriman lebih dahulu atau melihat tanda?
Selamat berdoa…