Penjelasan terbaik tentang sesuatu, adakalanya, akan jauh lebih baik dimulai dari sisi kebalikannya.
Seperti, perhatian.
Apa itu perhatian?
Bagaimana menjelaskan perhatian?
Kita bisa mulai dari sisi kebalikannya.
Taruhlah Anda sedang menghadapi masalah. Anda perlu menceritakannya kepada seseorang. Anda membutuhkan seseorang yang bersedia mendengarkan Anda.
Beruntun, Anda menemukan seseorang itu.
Tetapi baru 2 menit, Anda belum lagi selesai (setengahnya saja belum) menumpahkan keluh-kesah, dia sudah memotong pembicaraan. Dia segera memberi solusi panjang lebar, blah-blah-blah.
Pada akhirnya, Anda meninggalkan dia dengan perasaan tidak puas karena (a) solusinya yang panjang lebar itu ternyata tidak pantas disebut solusi (b) unek-unek di dalam hati tidak bisa dikeluarkan semuanya.
Itulah pentingnya perhatian.
Karena (a) solusinya pantas disebut solusi karena memang menyelesaikan masalah. Jika Anda sungguh memberi perhatian penuh, adakalanya, solusinya tidak sepanjang dan selebar itu.
Karena (b) unek-unek yang dikeluarkan semua itu sungguh melegakan, plong.
Sekarang, hari ini Santo Paulus dalam Suratnya kepada Jemaat di Tesalonika menyebut bersukacita, berdoa dan mengucap syukur (1Tes. 5:16-18).
Bagaimana menerangkan suka cita yang datang dari rasa syukur?
Mulai saja dari kebalikannya.
Mulai saja dari apa yang terjadi jika Anda mengeluh terus?
Bukan kebetulan Santo Paulus menyebut ketiga hal itu secara bersamaan. Syukur dalam doa akan menimbulkan perasaan sukacita.
Kita sama-sama mengerti suka cita jauh lebih baik dari perasaan apapun itu yang muncul jika kita mengeluh.
0 komentar:
Posting Komentar