Di rumah ini, entah makan siang atau makan malam, selalu ada masakan lezat yang terhidang di atas meja. Kecuali pada hari senin dan jumat. Ibu yang memasakan makanan yang lezat itu libur.
Pada hari-hari beliau libur, seperti hari ini, pilihannya: a. masak sendiri; b. makan di restoran; c. beli makanan jadi (tinggal dipanaskan) dari supermarket.
Pilihan a dan c akan saya bahas di kesempatan lain.
(Bocorannya: saya sudah bisa masak nasi goreng-nya Jepang. "Enak" kata romo-romo yang menyantapnya. Kemungkinannya: a. memang enak; b. romo-romo senior itu cukup bijaksana dan sangat pengertian. Cukup bijaksana untuk tidak mematahkan semangat koki pemula ini. Dan sangat mengerti bahwa ada kalanya sedikit basa-basi adalah obat mujarab untuk menaikkan kepercayaan diri. Mana ada orang di dunia ini yang pertama kali masak makanan langsung enak?).
Sekarang pilihan b. Benar kata orang, di tempat baru kita akan lebih peka akan banyak hal.
Seperti soal minuman isi ulang, teh panas atau air putih.
Di beberapa restoran, hanya jika kami memanggil si pelayan dan meminta gelas kami diisi lagi, barulah dia datang.
Di beberapa restoran lain, pelayannya selalu berdiri dengan tatapan mata ke sana kemari. Selalu dalam posisi siaga seperti situasi gawat darurat. Tidak perlu dipanggil. Bisa tiba-tiba saja seseorang dari mereka sudah berdiri di samping meja dan mengisi gelas kami yang kosong.
Mungkin tindakan itu memang kebijakan pengelola restoran.
Tapi tetap saja perhatian seperti itu sangat menyenangkan.
Kami tidak perlu celingak-celinguk. Tidak perlu sabar menunggu giliran. Tidak perlu memanjang-manjangkan leher. Tidak perlu mengangkat-angkat tangan berulang-ulang kali. Duduk saja dan makan dan minum.
Kecil. Sederhana. Hanya soal mengisi ulang minuman di gelas yang kosong. Tanpa diminta. Tanpa dipanggil.
Kecil. Sederhana. Tapi membuat saya berpikir, "Begitulah seharusnya pelayanan".
Jika pelayanan adalah piramida, bagian terbesar yang menyentuh tanah seharusnya adalah hal-hal kecil dan sederhana. Hal-hal kecil dan sederhana seperti senyum, sapaan, sedikit basa-basi, bertukar canda, saling bertanya kabar. Baru kemudian bagian runcing di atasnya, misalnya program kerja ini dan itu di Gereja atau proyek amal kasih di sini dan di sana. Setahu saya, banyak program kerja dan beberapa proyek amal kasih yang sukses berawal dari tukar canda dan kabar itu.
Tapi memang selalu lebih menyenangkan dilayani. Ah, para pelayan yang sigap itu…
P.S: Saya bikin omelet tadi. "Kelihatannya enak" kata seorang romo yang tidak mencicipinya. Kelebihan basa-basi juga rasanya gimanaaaaaa gitu.
P.S.S: Istilah 'piramida' itu, ini pasti gara-gara saban nonton TV isinya selalu Mesir.