Ini kisah nyata. Tapi mungkin terlalu sederhana untuk selera sinetron Indonesia.
Kemarin saya menghadiri misa di sebuah kapel yang biasa menyelenggarakan misa mingguan untuk orang asing (foreigners).
Sebelum berkat penutup, romo yang mempersembahkan perayaan Ekaristi memperkenalkan sepasang suami-istri (orang Jepang) berusia 60-an tahun.
"Pasangan ini baru saja menikah di kapel ini pada Natal tahun lalu. Hari ini mereka datang untuk bersyukur atas rahmat perkawinan itu" kata sang romo.
Semua yang hadir, kira-kira 50-an umat, bertepuk tangan.
Semua yang hadir itu datang dari berbagai bangsa: Filipina, Australia, Amerika, Inggris, Afrika (entah dari Afrika sebelah mana) dan Indonesia (sebatang kara, hehehe).
Selesai misa, dari romo asal Australia itu, saya memperoleh kisah lengkap tentang pasangan yang menikah di usia 60-an tahun itu.
Keduanya, kata sang romo, adalah "high school sweethearts".
Tetapi, singkat cerita, keduanya menempuh jalan hidup masing-masing: tinggal di kota berbeda, menikah dengan orang lain dan sama-sama sudah dikarunia anak.
Kemudian, pasangan mereka meninggal. Tetapi, ya itu tadi, mereka berdua tidak saling mengetahui keberadaan dan perkembangan hidup mereka (yang sama) ini.
Suatu ketika, tiba-tiba saja, sang wanita tertangkap kamera televisi dalam suatu program berita. Pada saat yang sama sang pria sedang menonton program berita itu.
Konon katanya, cinta monyet bisa tertanam dalam sekali.
Singkat cerita lagi, setelah pencarian yang panjang dan lama, cinta mereka akhirnya menyatu lagi saat Kristus lahir. Di usia 60-an tahun.
"They're old but young at heart" puji sang romo.
Tuhan bekerja dalam berbagai macam cara.
(Ketika sang romo mulai memperkenalkan mereka, keduanya berdiri. Malu-malu. Sementara romo berbicara, sang pria terus menatap mesra pujaan hati dari masa SMA-nya itu).
Happy Valentine, lagi.