Saya selalu percaya kita semua berhak atas kesempatan kedua.
Karena melakukan kesalahan, hampir seperti kematian, adalah soal giliran.
Setiap orang yang kepada mereka saya mengatakan hal di atas selalu mengajukan pertanyaan lanjutan yang sama, "Kalo dia melakukan kesalahan yang sama lagi?"
Nah….
Sampai di sini, jawaban saya biasanya bervariasi.
Tergantung kasusnya: siapa yang bersalah, apa kesalahannya (termasuk di dalamnya berat atau ringan) dan status relasi dengan si penanya (misalnya, pacar, suami, anggota keluarga, sahabat, dan seterusnya).
Bagaimana dengan Anda?
Ngomong-ngomong soal kesalahan kedua. Sebenarnya tidak ada yang namanya kesalahan kedua.
Jika kita berbuat sesuatu yang salah untuk pertama kali, itu namanya kesalahan. Karena kita belum (tidak) tahu, perbuatan itu salah.
Tetapi jika kita melakukan hal yang sama lagi untuk kedua kalinya, itu bukan kesalahan lagi.
Itu pilihan.
Sama seperti jika Anda datang tidak tepat pada waktunya, itu namanya terlambat. Tetapi jika Anda masih datang tidak tepat pada waktunya untuk kedua kalinya, itu bukan terlambat lagi.
Itu pilihan.
Kita semua berhak atas kesempatan kedua.
Di kesempatan kedua, Anda hanya perlu memberitahu perbuatannya salah. Anda hanya perlu memberitahu betapa perbuatannya melukai hati Anda. Anda hanya perlu memberitahu kepercayaan Anda terhadap goyah (dan bahwa tidak gampang untuk memulihkannya lagi kecuali dia berjanji tidak melakukannya lagi).
Pendeknya, kesalahan pertama adalah soal kurangnya pengetahuan.
Karena itu jika Anda ingin memberi kesempatan kedua, Anda hanya perlu memastikan dia sudah memiliki pengetahuan yang lengkap atas akibat dari kesalahan yang dilakukannya.
Jika dia melakukannya lagi, Anda sedang berhadapan dengan soal yang berbeda sama sekali: dia memilih untuk mengulanginya!
Dan pilihan bukan lagi soal kurangnya pengetahuan. Pilihan sudah menyangkut perasaan, kehendak, pikiran, mentalita.
Salut kepada Anda yang memberikan kesempatan ketiga. What a big heart you have.