Suatu malam saya duduk dengan seorang teman.
Belum sepatah katapun dia ucapkan. Tetapi air mata pedih sudah membanjir di wajahnya. Itu sudah cukup mengatakan banyak hal, paling tidak ada sesuatu yang salah.
Alam seolah solider dengannya. Hujan turun deras malam itu.
"Frater, saya ingin menceritakan sesuatu yang sudah saya pendam selama 5 tahun ini dan belum pernah saya katakan pada siapapun".
Lalu mengalirlah cerita itu.
Ayah-ibunya memutuskan untuk berpisah 5 tahun yang lalu ketika ia sedang membutuhkan banyak perhatian orang tuanya. Ia baru saja memasuki masa remajanya yang ceria tetapi sekaligus teramat rapuh. Dia tidak tahu persis apa penyebab perpisahan itu (tak seorang pernah mengatakannya, tak seorangpun pernah menjelaskan kepadanya, tidak ayah-ibunya, tidak juga bisik-bisik tetangga-tetangganya). Yang dia tahu hanyalah ayahnya pergi dan tidak lagi pulang ke rumah setelah dia merengek meminta ayahnya melunasi uang sekolahnya.
Maka selama 5 tahun semenjak perpisahan itu, yang ada di pikirannya hanyalah "Sayalah penyebab perpisahan itu". Padahal, "Kami keluarga yang bahagia sebelumnya".
"Saya pernah berpikir untuk bunuh diri saja".
Ia menangis lagi.
Remuk.
"Ada malam-malam di mana saya terbangun karena tangan-tangan hitam besar mengejar saya. Saya menggigil di atas tempat tidur dan tidak bisa tidur lagi setelah itu". Rasa bersalah itu terus menghantuinya.
Dentuman-dentuman musik yang terlalu keras membuatnya gelisah dan gugup. Dia tidak pernah mengerti apa sebabnya. Yang jelas, reaksi seperti ini baru dia rasakan 5 tahun ini.
"Kalau sedang jalan-jalan di mall dan melihat keluarga yang utuh sedang bercengkerama bahagia, air mata saya mengalir tak tertahankan".
Di tengah kerapuhan dan luka menganga itu, ia bertemu dengan mereka yang bernasib sama dengannya.
"Ada teman yang pernah kasih info obat paling ampuh untuk bunuh diri: tanpa rasa sakit—minum saja dan selesai. Ada lagi yang menawarkan obat-obat terlarang untuk menghilangkan rasa sakit di hati".
Puncaknya, ia diajak oleh mereka untuk menjajakan diri. Dan ia menuruti ajakan itu. Tetapi ketika sedang bergerombol menunggu, suara dari dalam hatinya menyuruhnya untuk pulang. "Saya mengikuti suara itu dan pamit pulang pada teman-teman. Tidak ada yang terjadi". Tidak untuk jual diri itu. Tidak pula untuk obat-obat terlarang itu.
Setelah percakapan kami malam itu, banyak hal berseliweran di kepala saya. Salah satunya ini: kadang-kadang orang tua mungkin tidak punya bayangan sama sekali efek tindakan mereka terhadap anak-anak. Mereka, bisa jadi, hanya tidak tahu apa yang akan dialami, dihadapi dan dilalui anak-anaknya karena keputusan mereka. Kalau saja mereka tahu…
"Bukan salah kamu mereka berpisah".
"Mereka punya masalah sendiri. Bukan salah kamu".
"Saya masih berdoa frater. Itu barangkali yang bikin saya tidak terjerumus dalam hal-hal negatif".