Dua Tren Bertolak Belakang (2)

Jumat, Maret 09, 2012

It sounds like a scene from the famine-stricken regions of the Third World: a family, father, mother and son, lying where they had starved to death in their home. But this is not the Horn of Africa but Tokyo’s commuter belt, one of the wealthiest, most developed regions on the planet. (The Times, 22/02)

Saya menemukan berita ini seminggu yang lalu di perpustakaan kampus. Pasangan suami-istri di usia 60-an tahun dan anak mereka di usia 30-an tahun meninggal karena kelaparan.

Polisi menyebutkan tidak ada tanda-tanda kejahatan dan bunuh diri. Tidak ada makanan dan hanya sedikit sekali Yen di dompet.

Waktu kematian: dua bulan lalu. Menurut kesaksian tetangga, mereka terakhir terlihat pada November 2011.

Mengapa baru ditemukan jenazahnya?

Rupanya polisi dihubungi oleh pihak pengelola apartemen. Pasalnya, keluarga belum membayar sewa apartemen selama dua bulan.

Karena laporan itu polisi datang dan mengecek apartemen mereka hanya untuk mendapati 3 jenazah terbaring.

Jarak apartemen yang mereka huni hanya beberapa meter saja dari supermarket yang berlimpah makanan.

Mengapa keluarga ini tidak meminta bantuan tetangganya? Atau mendaftarkan diri di kantor pemerintah untuk mendapatkan bantuan negara?

Soalnya ini: orang Jepang umumnya tidak ingin merepotkan orang lain.

Mereka tidak mau menjadi beban bagi orang lain.

Karena itu kasus ‘meninggal sendirian’ seperti keluarga di atas bukanlah kasus luar biasa yang jarang terjadi.

Dua hari yang lalu, siaran berita di TV menampilkan kasus terbaru: ibu dan anak ditemukan meninggal di apartemen mereka. (Juga baru ditemukan karena penyebab yang sama: belum membayar sewa apartemen).

Jika tsunami setahun lalu berefek pada meningkatnya komunikasi antartetangga, ada harapan kasus-kasus ‘meninggal sendirian’ seperti ini bisa dicegah.

Mudah-mudahan.

0 komentar: