Jika berdiskusi dengan mereka yang mendalami Sosiologi, kemungkinannya adalah Anda akan mendengar hal yang seperti ini, “Tolong bedakan antara kenyataan dengan persepsi; antara fakta dengan opini atau gosip”.
Paling tidak, dosen Sosiologi saya suka mengatakannya.
Tentu saja, kami, para mahasiswanya tidak selalu bisa mengikuti nasehatnya.
Tetapi, apa yang dinasehatkan beliau penting untuk diperhatikan dan diikuti.
Internet membuat informasi beredar dalam kecepatan yang menakjubkan.
Banyak pakar media membicarakannya tetapi efeknya baru akan terasa jika Anda mengalaminya sendiri.
Seperti saya, 2 minggu lalu.
Berita dr Indonesia di NHK (TV Jepg): ada aksi solidaritas (doa, dll) dr pelajar Aceh utk sethn tsunami Jepang. Thx pelajar Aceh. Bangga” adalah kicauan saya di Twitter dari Nagoya.
Tidak sampai semenit kemudian, 11 orang (yang kelihatannya) dari Aceh me-retweeded.
Dengan kecepatan yang sama, saya menduga, berita pendek dari Nagoya itu sudah dibaca oleh para pelajar Aceh yang terlibat dalam aksi solidaritas itu. (Tebakan saya, para pelajar itu pasti senang kerja keras dihargai oleh orang Jepang)
Dan saya hanya bisa “Wooowww”.
Kembali ke nasehat dosen Sosiologi saya itu, dengan kecepatan penyebaran informasi yang gila-gilaan seperti sekarang ini, perlu bagi kita untuk bertanya, “Ini fakta atau opini atau gosip? Ini persepsi penulisnya saja atau kenyataannya memang demikian?”.
Tetapi bagaimana kita bisa membedakan kenyataan dari persepsi?
Jawabannya tidak selalu harus dicari dalam buku-buku Sosiologi.
Adakalanya kejadian sederhana (dan lucu) bisa menerangkannya.
Tiga hari yang lalu saya dan beberapa romo dan frater lain dari Indonesia bersantap malam bersama di sebuah biara.
Meja makan kami malam itu dipenuhi makanan Indonesia dan… gelak tawa.
Di meja seberang duduk beberapa romo bukan Indonesia yang juga sedang menyantap makan malam (bukan menu Indonesia dan tidak banyak tawa).
Di penghujung makan malam, seorang romo dari meja seberang menghampiri kami, katanya, “Bahasa Indonesia ternyata gampang ya” sambil tersenyum.
“80% isinya ketawa saja” kata beliau lagi memberi alasan.
Itu persepsi.
Kenyataannya, nilai ujian Bahasa Indonesia semua orang Indonesia tidak selalu A.
“Tolong bedakan antara kenyataan dengan persepsi; antara fakta dengan opini atau gosip".
(Gambar dari sini)
0 komentar:
Posting Komentar