Mungkin Ya, Mungkin Tidak
Nasehat Untuk Pria
Behave like a professional with dignity and self-discipline: Save your passion to drive your creative career, and keep your mind on your work.
Nobody loves a womanizer, and nobody wants to work with an associate who’s got one eye on his work and the other on a coworker’s curves. It’s the fastest, and ultimately the nastiest way to destroy a budding career. (George Lois, Damn Good Advice, 93).
Apa Itu Cinta (6)
Would you like to go somewhere?
Itu adalah pertanyaan seorang Romo yang tinggal serumah dengan saya kepada Romo satunya lagi.
Romo yang terakhir saya sebut ini baru saja merayakan ulang tahunnya Seminggu yang lalu.
Usia beliau 85 tahun.
Di usia seperti itu, beliau tidak lagi bisa menyetir sendiri mobilnya karena gangguan penglihatan. Sebelum gangguan penglihatan itu beliau terbiasa menyetir mobilnya sendiri jika ingin bepergian.
Karenanya, Would you like to go somewhere? adalah tawaran yang wajar. Beliau memang tidak bisa lagi menyetir mobil, tidak berarti beliau tidak ingin lagi ke mana-mana, kan?
Karenanya lagi, wajar saja jika romo lain yang masih bisa menyetir mobil menawarkan bantuan.
Tetapi hari berikutnya, juga sehabis makan malam, saya mendengar tawaran yang sama lagi. Juga dari romo yang sama.
Dan hari berikutnya lagi.
Ok, saya mulai menaruh perhatian.
Hari berikutnya lagi. Tawaran yang sama.
Sehabis santap malam berikutnya lagi.
Ternyata… setiap malam!!! Sampai sekarang!!!
Tiba-tiba, saya sadar saya sedang menyaksikan cinta di depan mata.
Biasa saja jika orang bermurah hati sekali-dua kali. Atau menawarkan dan atau melakukan sesuatu untuk mengesankan orang lain.
Seperti pacar yang baiknya setengah mati di tiga bulan pertama masa pacaran.
Wajar saja.
Tetapi cinta yang sesungguhnya baru akan kelihatan setelah masa menggebu-gebu itu berakhir.
Karena cinta yang sesungguhnya itu soal konsistensi.
Seperti, Would you like to go somewhere? yang ditanyakan setiap malam.
Konsisten.
Cinta.
P.S: Adakalanya romo 85 tahun ini menerima tawaran itu. Adakalanya ia hanya ingin tinggal di rumah, beristirahat. Tetapi tidak peduli tawarannya diterima atau ditolak, pertanyaan yang sama terus diajukan. Tidakkah itu cinta?
"Bahasa Indonesia Ternyata Gampang Ya"
Jika berdiskusi dengan mereka yang mendalami Sosiologi, kemungkinannya adalah Anda akan mendengar hal yang seperti ini, “Tolong bedakan antara kenyataan dengan persepsi; antara fakta dengan opini atau gosip”.
Paling tidak, dosen Sosiologi saya suka mengatakannya.
Tentu saja, kami, para mahasiswanya tidak selalu bisa mengikuti nasehatnya.
Tetapi, apa yang dinasehatkan beliau penting untuk diperhatikan dan diikuti.
Internet membuat informasi beredar dalam kecepatan yang menakjubkan.
Banyak pakar media membicarakannya tetapi efeknya baru akan terasa jika Anda mengalaminya sendiri.
Seperti saya, 2 minggu lalu.
Berita dr Indonesia di NHK (TV Jepg): ada aksi solidaritas (doa, dll) dr pelajar Aceh utk sethn tsunami Jepang. Thx pelajar Aceh. Bangga” adalah kicauan saya di Twitter dari Nagoya.
Tidak sampai semenit kemudian, 11 orang (yang kelihatannya) dari Aceh me-retweeded.
Dengan kecepatan yang sama, saya menduga, berita pendek dari Nagoya itu sudah dibaca oleh para pelajar Aceh yang terlibat dalam aksi solidaritas itu. (Tebakan saya, para pelajar itu pasti senang kerja keras dihargai oleh orang Jepang)
Dan saya hanya bisa “Wooowww”.
Kembali ke nasehat dosen Sosiologi saya itu, dengan kecepatan penyebaran informasi yang gila-gilaan seperti sekarang ini, perlu bagi kita untuk bertanya, “Ini fakta atau opini atau gosip? Ini persepsi penulisnya saja atau kenyataannya memang demikian?”.
Tetapi bagaimana kita bisa membedakan kenyataan dari persepsi?
Jawabannya tidak selalu harus dicari dalam buku-buku Sosiologi.
Adakalanya kejadian sederhana (dan lucu) bisa menerangkannya.
Tiga hari yang lalu saya dan beberapa romo dan frater lain dari Indonesia bersantap malam bersama di sebuah biara.
Meja makan kami malam itu dipenuhi makanan Indonesia dan… gelak tawa.
Di meja seberang duduk beberapa romo bukan Indonesia yang juga sedang menyantap makan malam (bukan menu Indonesia dan tidak banyak tawa).
Di penghujung makan malam, seorang romo dari meja seberang menghampiri kami, katanya, “Bahasa Indonesia ternyata gampang ya” sambil tersenyum.
“80% isinya ketawa saja” kata beliau lagi memberi alasan.
Itu persepsi.
Kenyataannya, nilai ujian Bahasa Indonesia semua orang Indonesia tidak selalu A.
“Tolong bedakan antara kenyataan dengan persepsi; antara fakta dengan opini atau gosip".
(Gambar dari sini)