Semalam, hampir jauh malam, saya diajak menikmati secangkir coklat panas yang lezat. Jika Anda tidak bisa tidur, secangkir coklat panas adalah tawaran yang susah ditolak.
"Di daerah ini terkenal tempat ngumpulnya gay" kata teman yang mengajak.
Tidak masalah. Tokh yang kami cari secangkir coklat panas.
Dan benar saja. Di kafe itu, saya melihat 90 % pengunjungnya pria-pria pesolek dan gemulai. Tidak terlalu pasti berapa persen dari 90 itu yang gay. Coklat panas yang masih mengepul itu lebih menarik perhatian (itu coklat panas terenak sedunia).
"Bagus juga ada tempat seperti itu buat gay" kata saya ketika akhirnya kami kembali lagi ke mobil, setelah coklat panas itu tandas.
Maksud saya, menjadi gay di Indonesia sudah cukup sulit. Pastilah nyaman untuk mereka menemukan tempat atau komunitas di mana mereka bisa menjadi diri sendiri.
Pagi ini saya memikirkan kembali soal komunitas tersebut. Sebenarnya bukan hanya gay yang membutuhkan komunitas.
Faktanya, setiap kita membutuhkan komunitas: tempat di mana kita bisa menjadi diri sendiri dan orang-orang yang dari mereka kita mendapatkan pengertian, kepedulian dan dukungan.
Tetapi komunitas bisa jadi bagian penuh jebakan.
Ada komunitas yang menguatkan dan mendorong kita merangkak keluar dari jurang. Dan ada komunitas yang memegang tangan kita ke bibir jurang dan meyakinkan kita terjun ke dalamnya.
Jadi, bergabunglah dalam komunitas (hey, hidup ini sudah cukup sulit untuk dihadapi sendirian, bukan?)
Tetapi waspadalah terhadap hasil yang Anda capai: Anda semakin menjadi seseorang yang lebih baik? Atau sebaliknya?
P.S: Dalam perjalanan pulang, kami dicegat oleh polisi yang setelah melihat kami, dengan tenangnya bertanya, "Keluarga ya?" Saya berkulit hitam dengan mata lebar dan rambut keriting. Sementara teman-teman saya, dua gadis cantik dengan mata sipit, kulit putih dan rambut lurus. Menurut bapak? (Mungkin kami komunitas penikmat coklat panas, pak).