"Nanti mudik juga, pak?"
"Oh gak. Saya Katolik".
Begitulah percakapan itu dimulai. Pada suatu malam, seminggu sebelum Lebaran tiba. Antara saya dan seorang pengemudi taksi. Dia seorang Katolik berusia 60-an tahun.
Oh ya, saya tidak memberitahu beliau kalau penumpangnya seorang frater. Saya belajar dari pengalaman, identitas saya sebagai frater, ada kalanya, membuat orang menyensor sendiri apa yang akan diceritakan. Alhasil, percakapan kami berjalan seperti seorang guru yang sedang mengajari muridnya. Hanya kali ini pelajarannya adalah pelajaran tentang hidup itu sendiri. (Dan saya akan menuliskan percakapan kami dalam beberapa bagian. Anggap ini bagian pertama.)
Tentang menjadi Katolik itu sendiri, ia punya cerita. Ia terlahir sebagai seorang Muslim di tengah keluarga Muslim yang taat.
"Trus kenapa masuk Katolik, pak?".
Sederhana saja ternyata jawabannya. Sebagai anak kecil ia sangat menikmati cerita-cerita Alkitab (Daud melawan Goliath dan sebagainya) yang diceritakan oleh katekis yang bertugas di kampungnya. Bagaimana bisa ia mengikuti cerita sang katekis? Di kampungnya di Lampung sana ada sekelompok kecil umat Katolik. Tiap minggu, sebagaimana lazimnya, selalu ada sekolah minggu. Beberapa temannya adalah anggotanya. Dan ia cukup penasaran untuk mengintip dari jendela dan pintu apa yang dilakukan oleh teman-temannya. Sang katekis yang jeli akhirnya mempersilahkan bocah penasaran itu masuk dan bergabung bersama teman-temannya.
Ia bukan hanya dipersilahkan masuk. Ia diperlakukan sama dengan anak-anak sekolah minggu yang lain: ia diperhatikan dan dikasihi olehnya.
Keputusan paling penting yang akan diambilnya kemudian berawal dari guru sekolah minggu yang baik hati itu.
Ketika kemudian ia mantap menjadi Katolik, kata-kata yang keluar dari ayahnya adalah saya tidak mau suatu saat kamu datang lagi kepada saya dan ingin pindah lagi ke agama lain atau masuk Islam lagi. Agama, katanya, bukan seperti ganti baju.
Beliau tetap menjadi Katolik sampai pada malam ia bercerita kepada saya. Dan ia menceritakan ini kepada saya dengan suka cita. Nampaknya ia bahagia dengan pilihannya.
Masih tentang pilihan. Ia bercerita tentang langkah orang tuanya memilihkan seorang gadis untuk dinikahinya. Ia dijodohkan.
"Saya gak mau. Saya udah punya pacar waktu itu" katanya berapi-api. Jadi, dia menolak jodoh yang disodorkan orang tuanya dan menikahi pacarnya yang juga beragama Katolik.
Kata-kata yang keluar dari mulut ayahnya kala itu adalah saya tidak mau suatu saat kamu datang lagi kepada saya dan ingin menceraikan istrimu.
Pernikahan itu sudah bertahan selama 30-an tahun ("Udah ilang setrum-nya sih" katanya bercanda sambil terkekeh-kekeh). Mereka dikaruniai dua orang anak. "Ini bentar lagi mantu anak yang pertama".
Malam itu, supir taksi ini mengajari saya tentang mempertanggungjawabkan setiap pilihan yang sudah dibuat.