Jeans Termahal Sepanjang Hidup

Senin, September 06, 2010

Sudah lama saya penasaran, mengapa ada orang yang rela membayar sebegitu mahal untuk memiliki sebuah benda?

Salah satu adegan dalam serial favorit saya, Hung, menggambarkannya dengan baik.

Lenore, salah seorang pemeran pembantu dalam serial itu, memegang dua buah high heels. Yang satu, katanya, bernilai $ 79,99. Satunya lagi $ 1.250. Secara fisik tidak ada bedanya sama sekali. Keduanya persis sama bentuk dan warnanya.

"These shoes are sh*t" kata Lenore sambil membuang sepatu murah itu dengan gaya dramatis di depan Ray, sang tokoh utama. "These shoes are Christian Louboutin" katanya lagi sambil tetap memegang sepatu mahal itu. "Women buy Louboutin because they're buying quality. But more importantly they're buying what the Louboutin represent—the best. Paying more doesn't bother them. (Because) It gives them peace of mind. If they wear something of value, that means that they in turn have value".

Selama ini saya selalu membeli celana jeans di bawah Rp. 200.000. Karena, ya, yang penting nyaman dan melekat di tubuh. Tetapi beberapa saat sesudah menonton adegan itu saya memutuskan membuktikan kebenaran kata-katanya.

Tidak, saya tidak membeli sebuah Louboutin (walaupun saya suka bertanya-tanya bagaimana menjaga keseimbangan di atas high heels). Saya membeli celana jeans seharga Rp 375.000. Itu celana jeans termahal sepanjang hidup saya.

Ketika keluar dari toko itu sambil menenteng tas bagus berisi celana termahal sepanjang hidup saya itu, perasaan yang asing muncul. (Asing karena tidak pernah muncul sehabis membeli celana jeans di bawah Rp 200.000).

Ada rasa bangga dan rasa senang yang aneh.

Saya tahu harga yang mahal mewakili kualitas yang bagus. Semua orang (lebih-lebih yang memiliki kelebihan uang) ingin memakai barang berkualitas bagus. Saya pernah juga membaca, membeli barang mahal dan branded sesungguhnya sama dengan membeli gengsi dan kepercayaan diri. Mengenakan barang branded sama dengan menaikan gengsi dan rasa percaya diri.

Tetapi membeli jeans termahal itu membuat saya menduga, bukan kelebihan uang, bukan gengsi, bukan kepercayaan diri dan bukan kualitas barang yang menjadi penyebab pertama kita membeli barang mahal.

Sensasi bangga dan rasa senang yang aneh itu penyebab pertama. Lenore menyebutnya "peace of mind". Dan kalau sudah berbicara tentang perasaan, kita tidak pernah bisa rasional lagi.

Mengapa orang bisa berulang kali membeli (dan bisa terobsesi dengan ) barang mahal dan branded? Sensasi bangga dan senang itu bisa seperti narkotika: membuat orang ketagihan. Bukan iri, bukan kelebihan uang, bukan gengsi, bukan kepercayaan diri. Ini soal perasaan, pertama-tama.

Tahukah Anda dari mana ketamakan dan kerakusan (lebih modern lagi, korupsi) berasal? Saya menduga, awalnya dari sensasi bangga dan senang yang aneh itu.