Dua malam lalu saya menghadiri ulang tahun ke lima puluh seseorang yang sesungguhnya tidak saya kenal. "Dalam gereja Katolik, tahun ke-50 biasanya disebut tahun Yobel. Ini adalah ulang tahun Yobel", kata romo yang mempersembahkan perayaan Ekaristi malam itu dalam kotbahnya.
Setelah perayaan syukur itu usai, seperti biasanya ada acara—yang disebut MC—'patipo': pasang-tiup-potong kue ulang tahun.
Dalam keluarga saya, tidak ada tradisi 'patipo' ini. Karena itu, saya tidak menganggap penting arti potongan-kue-pertama-diberikan-kepada-seseorang-yang-penting. Mau potongan pertama atau terakhir, sepotong kue tetaplah sepotong kue.
Tetapi saya sudah menyaksikan banyak acara 'patipo' ini di mana bolehlah diberi judul, "Bukan Sekedar Potongan Pertama". Penyerahan potongan kue pertama ternyata menjadi semacam konfirmasi bahwa orang bersangkutanlah yang paling berarti dalam hidup yang diacarakan.
Malam itupun potongan kue pertama diserahkan kepada saudara yang paling dicintai oleh yang berulang tahun—dia memiliki tujuh bersaudara yang berdiri mengelilinginya, entah bagaimana perasaan mereka yang tidak menerima potongan pertama itu.
Barusan saya bercerita dengan seorang teman yang sedang berbunga-bunga hatinya. "Tadi saya diberitahu oleh sebuah bank untuk menjalani psikotes pada hari Senin" katanya berbagi kebahagiaan itu.
Dia baru saja diwisuda beberapa waktu lalu sehingga pantas saja jika pemberitahuan itu membuat hatinya berbunga.
Ibunya, yang sedang berdiri di samping saya, kaget sekaligus gembira mendengar informasi itu. Hanya saja ada kilatan rasa kecewa di wajahnya—mudah-mudahan saya salah menafsirkannya. Kaget dan gembira karena masa depan putrinya yang cerah. Tetapi sedikit kecewa karena, well, mirip dengan persoalan 'potongan kue pertama harus diberikan kepada siapa' tadi.
Entah kapan, saya pernah membaca sebuah kisah nyata. Seorang suami merasa bahwa komunikasi dengan istrinya mulai berjalan hambar. Tetapi syukurlah beberapa saat kemudian ia menyadari penyebabnya.
Apa yang dialaminya pada hari itu (kebahagiaan, kesuksesan, kesedihan, kemarahan, dll) sudah diceritakan kepada orang lain. Istrinya yang menunggunya di rumah pada malam hari hanya akan mendengar cerita mirip warta berita: tidak ada emosi di balik cerita itu selain informasi dingin belaka. Tak heran komunikasi mereka hambar. Maka ia memutuskan menyimpan semua pengalamannya (lengkap dengan segala luapan emosi di baliknya) untuk kemudian diceritakannya kepada istrinya. Komunikasi mereka hangat kembali.
Lagi-lagi soal 'potongan kue pertama'.
Ngomong-ngomong soal kue ulang tahun saya baru ingat: seorang ibu berjanji akan mengirimkan kue lengkap dengan lilin jika saya berulang tahun. Nampaknya saya harus mulai menimbang-nimbang kepada siapa potongan pertama akan diberikan. Atau, bisakah bagian potong dan bagi kue dilewatkan saja?
P.S: Sudah dua tahun ini teman baik saya selalu mengirimkan kue ulang tahun terenak sedunia dan langsung diserbu 'gerombolan' yang lapar begitu bungkusnya dibuka. Ternyata bisa juga bagian 'patipo' ini dilewatkan.