Demam Bola di Rumah Kami

Selasa, Juni 22, 2010

"Choosing, however simple the choices are, is never really that simple" (Ika Natassa, Divortiare)

Majalah TIME baru-baru ini terbit dengan headline besar, The Global Game. Tentang ini dan itunya Piala Dunia di Afrika Selatan. Memang demam Piala Dunia telah menyebar di seantero dunia ini.

Termasuk di Pineleng. Di rumah kami.

Rumah kami berdiri di atas lahan seluas 14 hektare. Dari 14 hektare itu tidak sampai setengahnya terisi oleh bangunan tinggal. Sisa terbesar lahan kosong yang diatasnya tumbuh macam-macam tumbuhan. Antara lain, pohon mangga, durian dan rambutan.

Gara-gara Piala Dunia, di pucuk pohon-pohon itu berkibar dengan megah bendera-bendera negara asing: Inggris, Belanda, Brazil. Di berbagai titik, seperti di pintu kamar, dinding kamar dan di pagar tertempel dan tertancap bendera Argentina dan Spanyol. Belum lagi kostum-kostum negara tersebut yang dikenakan.

Rumah kami, tiba-tiba, agak mirip gedung PBB.

Bagaimana pilihan negara favorit ini (yang dikonfirmasi dengan bendera dan kostum) diputuskan?

"Sejak mengenal sepakbola, saya selalu menjagokan Brazil" tegas salah seorang karyawan kami yang sudah bekerja selama 25 tahun. Di luar Piala Dunia, beliau penggemar AC Milan kelas fanatik untuk alasan yang sama pula. Mengapa bukan Italia yang didukungnya? "Negara ya negara, klub ya klub. Beda pak," katanya mantap. "Pokoknya Brazil". Baiklah. Ini, mungkin, soal hati.

Kata orang, pria bisa lebih setia pada bola kaki ketimbang istrinya. Saya baru saja membaca penelitian: 11 juta istri tidak sabar menunggu Piala Dunia berakhir agar laki-laki yang menghabiskan setengah hari di depan televisi itu kembali menjadi suami dan ayah anak-anaknya. Termasuk jatah uang belanja yang habis untuk taruhan.

Beberapa lebih rasional. Mempertimbangkan ini dan itu, dibantu dengan ulasan-ulasan dan analisa-analisa media tentang kekuatan dan kelemahan sebuah tim, lantas memutuskan keberpihakannya.

Beberapa lagi sekenanya saja memilih. Mereka ini tidak begitu tertarik pada bola kaki. Mereka memilih karena nampaknya semua orang 'seharusnya' punya pilihan.

Ada yang membingungkan. Setiap kali berada di depan televisi, ia mendukung tim yang diprediksi akan menang. "Kamu mendukung negara mana sebenarnya?" tanya saya suatu malam.

Tanpa rasa berdosa dia menjawab, "Pilihan saya akan jelas jika pertandingan sudah mencapai perempat final. Lebih jelas lagi jika final sudah berakhir".

Tak sedikit yang punya pilihan tetapi tidak mau menunjukkannya terang-terangan. Alasannya? Mungkin malu kalau kalah.

Ada kalanya, memilih memang tidak pernah sesederhana kelihatannya sekalipun pilihan-pilihan yang tersedia itu sederhana saja. Karena resiko-resiko yang mengikuti pilihan itu tidak selalu mengenakkan.