Siapa Mendorong Kursi Roda?

Minggu, Agustus 21, 2011

Teman saya, yang baru saja keluar dari Rumah Sakit, membandingkan pelayanan para perawat di Indonesia dan Jepang. Dia pernah (dua kali malah) harus menjalani rawat-inap di Rumah Sakit di Indonesia.

Di Indonesia, katanya, hampir semua yang berkaitan dengan kebutuhan pasien dikerjakan oleh perawat.

Di Jepang, “Kalo pasien masih kuat dan bisa ngerjain sendiri, ya gak akan dibantu”.

Misalnya?

“Di Indonesia, waktu dirawat, setiap kali perawat datang untuk ngukur panas badan saya”.

“Di sini (baca: Jepang), perawat ngajarin saya ngukur panas badan sendiri dan ninggalin kertas buat saya nyatet hasilnya. Jadi, perawatnya ngecek panas badan saya dengan ngeliat kertas catatan saya itu aja”.

“Itu hanya contoh kecil. Masih ada lagi yang lain”.

Cerita teman saya membuat saya teringat sesuatu yang selalu berhasil menarik perhatian saya: orang cacat di atas kursi roda.

Di Jepang, sarana-sarana transportasi umum, fasilitas-fasilitas publik dan bangunan-bangunan didesain untuk mengakomodasi kehadiran orang cacat dengan kursi rodanya.

Karena itu mereka bisa bepergian ke mana-mana dengan mudah.

Yang menarik perhatian saya adalah mereka bepergian sendirian!

Di jalanan. Di taman umum. Toilet. Subway (kereta bawah tanah). Mall. Mereka sendirian saja tanpa ada yang menemaninya.

Memang kebanyakan menggunakan kursi roda elektronik yang canggih yang tidak membutuhkan tenaga manusia untuk mendorongnya.

Tetapi, tetap saja, melihat mereka bepergian sendiri rasanya…

p.s: Ketika menunggu sedang menunggu Subway, saya melihat kekecualian: akhirnya ada pemandangan orang lain mendorong kursi roda. Bukan hanya satu. Dua sekaligus. Akhirnya saya kembali berada di daerah yang saya kenal: perasaan nyaman bahwa ada tangan lain yang siap membantu.

p.s2: Saya baru menyadari saya dibesarkan dalam kultur di mana selalu akan ada banyak tangan lain yang menolong. Kultur Jepang yang setiap orang harus mandiri adalah daerah baru.

p.s3: Sebagian orang menyebutnya culture shock.