Namanya Priscillia

Rabu, Februari 24, 2010

Ada kalanya Tuhan bekerja melalui ironi-ironi.

Misalnya, apa yang paling pantas diterima oleh bayi mungil berusia dua bulan yang masih sedemikian ringkih? Kalau Anda mengatakan cinta yang melimpah dari ibunya, saya akan mengatakan seharusnya begitu.

Kenyataannya, tidak selalu begitu. Paling tidak itulah yang dialami Priscillia.

"Boleh panggil Pris?" tanya saya pada oma yang sedang menggendongnya. Beliau mengangguk. "Lia lei boleh, frater" (Lia juga boleh) sambungnya.

Yang saya sebut oma itu adalah oma angkat dari Lia. Beliau mendorong anak dan menantunya (yang sudah memiliki 3 orang anak) untuk mengadopsi sang bayi.

Ibu kandungnya yang melahirkannya cepat-cepat ingin menyerahkan Lia kepada siapa saja yang ingin mengambilnya—ia menyusui Lia hanya dua hari, itupun atas paksaan dokter. Sudah ada sepasang suami istri yang menyatakan niat untuk mengadopsinya tetapi batal, entah alasan apa.

Ceritanya, Lia adalah anak hasil perselingkuhan sang ibu dengan suami orang lain. Maka nasibnya seperti baju yang basah kuyup di badan kita dan harus segera diganti.

Tentang keluarga yang sudah ramai dengan 3 orang anak itu yang masing-masing duduk di bangku SD, SMP dan SMA (kelas 3 artinya tinggal sebentar saja sudah lulus dan melanjutkan kuliah). Anak dan menantu sang oma membuka kios kecil yang menyediakan kebutuhan harian. Selain itu, karena keduanya pandai memasak, suami-istri itu bahu membahu menjalankan usaha rantangan yang melayani tetangga-tetangga mereka.

Siang itu, ketika saya berkunjung, Lia digendong bergantian oleh oma, anaknya dan menantunya. Kelihatannya mereka bahagia.

Ada kalanya Tuhan bekerja melalui ironi-ironi. Dibuang oleh ibu yang melahirkannya. Diterima dalam keluarga utuh yang bahagia. Tidak dicintai oleh asal darah dagingnya. Dicintai oleh orang asing.

Ada kalanya Tuhan bekerja melalui ironi-ironi.