"Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat" (Yak. 3:16)
Awalnya saya mengira Rasul Yakobus sedikit berlebihan ketika menuliskan kata-kata di atas. Bisa saja kan seorang Rasul mendramatisir sesuatu untuk kepentingan pewartaannya?
Sumber kekacauan dan kejahatan itu iri hati dan egois? Yang benar saja!
Tetapi setelah mengingat-ingat lagi pengalaman pribadi ternyata beliau tidak berlebihan. Benar.
Sebelumnya, apa sebenarnya iri hati itu? Iri hati itu perasaan yang muncul setelah melihat orang lain mendapatkan apa yang kita inginkan setengah mati tetapi tidak kita dapatkan. Dan perasaan itu perasaan yang sangat tidak mengenakkan, sakit yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Tidak sakit amat-amat sebetulnya tetapi cukup untuk membuat kita bertindak bodoh.
Bertindak bodoh itu, antara lain, seperti menyebarkan gosip murahan, mengkritik berlebihan, sinis, mendendam, menikamnya dari belakang, sok pamer.
Bertindak bodoh itu, antara lain, seperti mencari rasionalisasi untuk segala macam tindakan bodoh di atas. Seolah-olah orang yang kita iri hatii itu pantas mendapatkannya. Seolah-olah ia memang pantas dikritik. Seolah-olah ia memang layak dijatuhkan.
Bertindak bodoh itu ,antara lain, seperti tidak menerima bahwa setiap orang memiliki rahmat dan talenta berbeda-beda. Padahal "Kepada tiap-tiap orang dikaruniakan pernyataan roh untuk kepentingan bersama. Sebab kepada yang seorang Roh memberikan karunia untuk berkata-kata dengan hikmat, dan kepada yang lain Roh yang sama memberikan karunia berkata-kata dengan pengetahuan. Kepada yang seorang Roh yang sama memberikan iman, dan kepada yang lain Ia memberikan karunia untuk menyembuhkan. Kepada yang seorang Roh memberikan kuasa untuk mengadakan mukjizat, dan kepada yang lain Ia memberikan karunia untuk bernubuat, dan kepada yang lain lagi Ia memberikan karunia untuk membedakan bermacam-macam roh. Kepada yang seorang Ia memberikan karunia untuk berkata-kata dengan bahasa roh, dan kepada yang lain Ia memberikan karunia untuk menafsirkan bahasa roh itu" (1Kor 12:7-10).
Bertindak bodoh itu, antara lain, seperti meremehkan kemampuan sendiri untuk memperoleh apa yang diinginkan.
Lihat... Betapa perasaan yang tidak sakit-sakit amat itu mengacaukan hidup kita. Betapa perasaan yang tidak sakit-sakit amat itu membuat kita jadi tidak rasional lagi. Betapa perasaan yang tidak sakit-sakit amat itu merendahkan mutu kita sebagai manusia. Betapa perasaan yang tidak sakit-sakit amat itu membuat kita menjadi manusia yang kalah. Betapa perasaan yang tidak sakit-sakit amat itu seperti setitik nila yang merusak susu sebelanga.
Lalu, bagaimana mengatasinya? Akan kita bahas di lain kesempatan dalam waktu dekat ini.