Menyambung lagi topik iri hati.
Sebenarnya iri hati itu manusiawi. Yang berarti alamiah dan wajar. Kalau ada seseorang yang mengaku tidak pernah iri hati kepada orang lain, patut dicurigai adakah ia jujur terhadap dirinya sendiri.
Maka saya tidak pernah yakin kalau ada orang mengatakan bahwa iri hati bisa dihilangkan seperti sisa makanan di atas meja. Tidak bisa. Dan tidak akan pernah bisa. Perasaan tidak mengenakkan yang tidak sakit-sakit amat itu tidak akan pernah bisa dihilangkan.
Jadi, bagaimana mengatasi iri hati?
Tidak bisa!
Yang bisa kita lakukan adalah mengatasi efek dari iri hati itu. Sama seperti Anda tidak bisa membuat supaya Anda tidak lapar lagi selamanya. Rasa lapar akan selalu muncul. Makan adalah cara mengatasinya.
Jadi, bagaimana cara mengatasi efek iri hati?
Sederhana saja: jujur. Jujur terhadap diri sendiri. Jujur dengan perasaan sendiri. Akui saja bahwa Anda iri melihat pencapaian orang lain. Akui saja bahwa perasaan tidak mengenakkan, perasaan yang sakit itu sedang bercokol dalam diri Anda.
Kejujuran itu akan membantu Anda mengontrol reaksi-reaksi bodoh yang muncul setelah iri tersebut.
Reaksi-reaksi bodoh terjadi karena orang tidak jujur bahwa ia iri hati.
Cara lain yang tak kalah sederhana: bersyukur. Bersyukurlah atas apa yang sudah Anda capai sekarang. Bersyukurlah atas kemampuan, bakat, talenta, ambisi dan impian yang masih Anda miliki yang akan Anda kembangkan dan wujudkan.
Jangan lupa, bersyukur juga karena Anda masih bisa iri hati. Mengapa? Selain efeknya negatif, iri juga bisa positif. Iri hati bisa memacu Anda untuk lebih berusaha lagi. Iri hati bisa memacu Anda untuk tampil lebih baik lagi. Iri hati bisa memacu Anda untuk kerja lebih baik lagi.
Akhirnya, bagaimana kita memandang perasaan iri hati itu? Kalau bisa, tentu saja, kita ingin tidak ada lagi perasaan tersebut. Tetapi lihat pengalaman Santo Paulus. "Dan supaya aku jangan meninggikan diri…, maka aku diberi suatu duri dalam dagingku, yaitu seorang utusan iblis untuk menggocoh aku, supaya kau jangan meninggikan diri. Tentang hal itu aku sudah tiga kali berseru kepada Tuhan supaya utusan Iblis itu mundur dari padaku. Tetapi jawab Tuhan kepadaku: 'Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna' (2 Kor. 12:7-9a).
Mari bersama-sama Santo Paulus kita berkata, "Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku" (2 Kor. 12:9b).