Orang Jepang dan 'Segala sesuatu ada waktunya'

Selasa, November 29, 2011

“Ketika raja itu masuk untuk bertemu tamu-tamu itu, ia melihat seorang yang tidak berpakaian pesta. Ia berkata kepadanya: Hai saudara, bagaimana engkau masuk ke mari dengan tidak mengenakan pakaian pesta?” (Mat. 22:11-12)

Anda tidak perlu menjadi pencinta sepakbola untuk menyukai klub sepakbola tertentu.

Melihat orang-orang di sekeliling Anda yang tergila-gila dengan sepakbola bisa membuat Anda ikut-ikutan menyukai sepakbola.

Tentu saja ‘ikut-ikutan’ berbeda jauh tingkatannya dengan ‘tergila-gila’.

Tingkat ‘ikut-ikutan’ adalah Anda merasa tidak perlu bedagang untuk menonton klub tersebut bertanding.

Tingkat ‘ikut-ikutan’ adalah ketika mendapat informasi klub Anda kalah, reaksi Anda hanyalah “oh, kalah ya?” dengan suara datar dan wajah tanpa ekspresi.

Tingkat ‘ikut-ikutan’ adalah ketika Anda merasa tidak perlu mengetahui semua nama pemainnya.

Tingkat ‘ikut-ikutan’ adalah ketika Anda memutuskan untuk membeli baju klub tersebut hanya karena warnanya, desainnya, bahannya atau hanya karena terlihat bagus.

Saya menyukai klub sepakbola Chelsea FC.

Tetapi kesukaan saya pada Chelsea ada pada ambang ‘ikut-ikutan’.

Beberapa waktu lalu saya mengunjungi sebuah toko yang menjual segala sesuatu yang berkaitan dengan olahraga. Termasuk, tentu saja, kostum Chelsea.

Warnanya ok.

Bahannya mantap.

Ukurannya pas.

Harganya terjangkau (waktu itu sedang didiskon 50 %).

Tidak, saya tidak membelinya.

Karena ini Jepang. Bukan Indonesia.

Di Indonesia, kostum sepakbola (apalagi yang diklaim ‘asli’) bisa dipakai ke mana-mana.

Ke lapangan futsal. Ke mall. Ke restoran. Ke pasar.

Di sini, kostum olahraga, semahal apapun (dan asli ataupun tidak) kelihatannya hanya dipakai pada dua kesempatan: (1) pada waktu berolahraga; (2) pada waktu menonton pertandingan olahraga di stadium.

Orang Jepang nampaknya menghayati betul kata-kata Pengkotbah ‘Untuk segala sesuatu ada waktunya’.

Termasuk urusan mengenakan pakaian.

0 komentar: