Tuhan mencintaimu.
DIA tidak melupakanmu.
Di Jepang ini, sudah beberapa kali saya mengunjungi objek-objek wisata terkenal.
Dalam setiap kesempatan itu saya selalu rajin memperhatikan pasangan-pasangan yang juga menikmati objek-objek wisata itu.
Berfoto berdua.
Bergantian mengambil foto pasangannya.
Dan dalam setiap kesempatan itu pula saya selalu merasa pasangan-pasangan ini seperti sedang menabung.
Mereka menabung kenangan bahagia.
Dalam masa-masa sulit dalam relasi cinta mereka, tabungan ini pasti akan sangat berguna.
P.S: Lihat pasangan itu: beranjak tua bersama…
“Ketika raja itu masuk untuk bertemu tamu-tamu itu, ia melihat seorang yang tidak berpakaian pesta. Ia berkata kepadanya: Hai saudara, bagaimana engkau masuk ke mari dengan tidak mengenakan pakaian pesta?” (Mat. 22:11-12)
Anda tidak perlu menjadi pencinta sepakbola untuk menyukai klub sepakbola tertentu.
Melihat orang-orang di sekeliling Anda yang tergila-gila dengan sepakbola bisa membuat Anda ikut-ikutan menyukai sepakbola.
Tentu saja ‘ikut-ikutan’ berbeda jauh tingkatannya dengan ‘tergila-gila’.
Tingkat ‘ikut-ikutan’ adalah Anda merasa tidak perlu bedagang untuk menonton klub tersebut bertanding.
Tingkat ‘ikut-ikutan’ adalah ketika mendapat informasi klub Anda kalah, reaksi Anda hanyalah “oh, kalah ya?” dengan suara datar dan wajah tanpa ekspresi.
Tingkat ‘ikut-ikutan’ adalah ketika Anda merasa tidak perlu mengetahui semua nama pemainnya.
Tingkat ‘ikut-ikutan’ adalah ketika Anda memutuskan untuk membeli baju klub tersebut hanya karena warnanya, desainnya, bahannya atau hanya karena terlihat bagus.
Saya menyukai klub sepakbola Chelsea FC.
Tetapi kesukaan saya pada Chelsea ada pada ambang ‘ikut-ikutan’.
Beberapa waktu lalu saya mengunjungi sebuah toko yang menjual segala sesuatu yang berkaitan dengan olahraga. Termasuk, tentu saja, kostum Chelsea.
Warnanya ok.
Bahannya mantap.
Ukurannya pas.
Harganya terjangkau (waktu itu sedang didiskon 50 %).
Tidak, saya tidak membelinya.
Karena ini Jepang. Bukan Indonesia.
Di Indonesia, kostum sepakbola (apalagi yang diklaim ‘asli’) bisa dipakai ke mana-mana.
Ke lapangan futsal. Ke mall. Ke restoran. Ke pasar.
Di sini, kostum olahraga, semahal apapun (dan asli ataupun tidak) kelihatannya hanya dipakai pada dua kesempatan: (1) pada waktu berolahraga; (2) pada waktu menonton pertandingan olahraga di stadium.
Orang Jepang nampaknya menghayati betul kata-kata Pengkotbah ‘Untuk segala sesuatu ada waktunya’.
Termasuk urusan mengenakan pakaian.
Anda bisa membayangkannya.
Karena, yaaa, pernah satu atau dua kali mengalaminya sendiri.
Anda bergabung dengan kelompok tertentu. Taruhlah, kelompok pelayanan di gereja.
Entah butuh waktu lama atau segera seketika itu juga, beberapa orang (termasuk Anda) menjadi akrab satu sama lain.
Kelompok Anda punya tempat makan favorit.
Menggosipkan hal yang sama.
Menertawakan lelucon yang sama yang orang lain di luar kelompok Anda tidak akan segera mengerti.
Suatu waktu, karena suatu alasan tertentu (sibuk atau sakit misalnya), Anda tidak bisa bergabung dengan mereka selama kurun waktu tertentu pula (seminggu misalnya).
Begitu bisa bergabung lagi dengan mereka, Anda segera bisa merasakan keadaan tidak sama lagi.
Ada gosip baru.
Ada lelucon baru.
Ada cerita baru.
Ada perkembangan baru.
Anda tertinggal… dan tiba-tiba (merasa) terasing… dan tiba-tiba (merasa) tersingkir… dan tiba-tiba (merasa) disingkirkan.
Jangan pergi.
Jangan menghilang (lagi).
Tinggallah.
Bertahanlah. Sedikit lebih lama.
Karena, adakalanya, perasaan kitalah yang menyingkirkan kita dari kelompok pertemanan itu.
P.S: Tentu saja, Anda bisa pergi jika sejak awal Anda tidak pernah merasa menjadi teman mereka.
"Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan" (Ams. 4:23)
© 2010 recharge