Seri Ketigabelas: Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi?
Berangkat dari daerah transmigrasi pukul 06.30 WIT, saya tiba di kota Sofifi pukul 12.30 WIT pada hari yang sama, Senin (05/04). Sudah ada speedboat yang menunggu untuk penyeberangan ke Ternate. Tetapi saya mengambil haluan lain. Dengan menumpang angkutan umum (kali ini Toyota Yaris yang dari baunya masih baru, dan saya masih belum habis pikir mobil sebagus ini bisa dijadikan angkutan umum) saya menuju ke Tobelo. Saya ingin berlibur di sana barang sehari dua. Ngomong-ngomong, Tobelo itu ibukota kabupaten Halmahera Utara di Maluku Utara sana.
Pukul 16.30 WIT saya tiba di Tobelo. Di sana ada beberapa karya tarekat kami MSC yang diurus juga oleh romo-romo MSC. Karya-karya itu terdiri dari radio Suara Paksi Buana (biasa disingkat SPB, ini stasiun radio pertama yang mengudara di Tobelo). Ada juga wisma Hati Kudus yang masih dalam pembangunan (kendati sudah bisa dipergunakan) yang dimaksudkan sebagai tempat pembinaan iman umat; juga bisa dimanfaatkan untuk pertemuan-pertemuan semacam seminar, lokakarya, sarasehan, rapat. Selain itu ada juga budidaya ikan mujair dan mas dengan keramba yang berlokasi di luar kota. Di desa Duma, tepatnya. Usaha budidaya ini lebih untuk pemberdayaan masyarakat di Duma tersebut.
Keesokan harinya dengan diantar oleh seorang karyawan dari wisma Hati Kudus saya berkunjung ke Duma. Di Duma sebuah pemandangan membetot perhatian saya.
Di samping kanan sebuah Gereja Protestan yang megah berdiri sebuah bangunan lain, bekas gereja yang kelihatannya sedang direnovasi. Para tukang bangunan sedang bekerja. Tetapi bukan itu yang membetot perhatian saya. Melainkan ini: di sisi sebelah lagi dari bekas gereja itu terlihat mungkin 100-an lebih batu nisan yang seragam bentuknya. Di depan semua batu nisan itu ada papan kecil semacam papan pengumumam yang sengaja ditancapkan disana bertuliskan: 'Martir-Martir Iman Duma'.
"Itu akibat kerusuhan tahun 2000, frater" kata sang pengantar.
"Huh?"
Lalu mulailah dia bercerita. Pada tahun 2000, konflik agama meletus di Maluku Utara. Tak terkecuali di desa Duma yang semua penduduknya beragama Kristen. Suatu hari, secara tak terduga, penduduk Duma diserang oleh pihak non-Kristen. Sekitar 100-an penduduknya memilih bersembunyi di dalam gereja itu. Naas, mereka dikepung dan terperangkap di sana. Lalu terjadilah hal yang berikut ini: gereja itu dibakar bersama-sama dengan umat di dalamnya.
Mendengar kekejaman tak masuk akal itu saya hanya bisa bertanya dalam hati, "Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi?".
Saya tahu, dalam saat-saat tertentu, orang bisa mengambil tindakan yang mengejutkan. Tetapi kekejaman seperti itu jauh di atas taraf 'mengejutkan'. Bagaimana bisa ada manusia sekejam itu?
Maka-makam itu sekarang dijadikan tempat peziarahan sekaligus tugu peringatan supaya tak pernah boleh terjadi lagi kebiadaban seperti itu.
"Situasinya sudah jauh berbeda, frater. Tidak ada konflik lagi. Masyarakat di Halmahera Utara sudah sadar kalau mereka diadu domba saja oleh pihak luar. Sekarang sudah aman dan damai". Syukurlah.