Dua jam yang lalu. Dalam perjalanan menuju Manado dari tempat tinggal kami di Pineleng, saya sekendaraan umum dengan seorang ibu. Mungkin 60-an tahun. Rambutnya beruban di sana sini. Ketika ia berbicara, kelihatan sekali deretan giginya yang tidak asli lagi.
Beliau berbagi kepedihan hatinya dengan penumpang lain, seorang bapak yang sepantaran usia dengannya. Paling tidak dari tampilan fisik (penampilan bisa menipu bukan?).
Apa yang mereka percakapkan? Lebih tepatnya apa yang ibu ini ceritakan kepada sang bapak?
Saya tidak sengaja menguping (hanya ada empat orang di dalam mobil itu: saya, sopir dan ibu-bapak tua itu). Dan memang tidak perlu menguping untuk mendengar kisah sang ibu. Suaranya menggelegar.
Ada orang yang mencaplok tanah beliau. Menurutnya, "Tidak pernah ada jual-beli, tidak pernah ada perjanjian; tanah itu tidak pernah dihibahkan". Singkatnya, tanah itu masih 100 % miliknya. Tapi itu dulu. Dengan uang yang melimpah di tangan, sang pencaplok berusaha dengan segala cara untuk merebut tanah itu. Dan ia menang.
Dan suara yang menggelegar ketika bercerita itu adalah suara yang marah tapi tidak berdaya. Suara yang menuntut keadilan tetapi tidak tahu apa yang harus dilakukan. Itu suara keputusasaan.
Pernahkah Anda marah tetapi tidak bisa berbuat sesuatu selain melampiaskan kemarahan? Pernahkah Anda sedemikian marah tetapi tidak melihat jalan keluar apapun untuk masalah Anda?
Itu jenis kemarahan yang paling menyakitkan. Itu jenis kemarahan yang paling pilu. Kemarahan orang-orang kalah dan tak berdaya.
Di penghujung kemarahannya, sang ibu berkata yakin, "Saya tidak punya siapa-siapa untuk membela saya. Tetapi Tuhan tidak akan tinggal diam. Biarlah Dia yang akan membalasnya".
Keyakinan itu menghujam ulu hati saya.
Dua malam lalu saya menonton sebuah film lama tahun 2006, Black Snake Moan judulnya. Para pemainnya, antara lain, Samuel L. Jackson, Justin Timberlake dan Christina Ricci.
"Mengapa kamu berdoa kepada Tuhan?", tanya Christina Ricci kepada seorang pengkotbah.
"Ketika tidak seorang berpihak padamu. Bahkan ketika kamupun tidak percaya pada kemampuanmu sendiri, ada Tuhan di atas sana. Kamu bisa menggantungkan harapanmu pada-Nya".
"Saya berdoa bukan supaya saya diberikan kebahagiaan di akhirat. Bukan juga kemuliaan di surga. Saya berdoa supaya Tuhan menguatkan saya menjalani hari-hari di dunia ini" kata sang pendeta, tenang dan meyakinkan.
Ada saat dalam hidup kita ketika Tuhanlah harapan kita yang terakhir. Jangan sampai kehilangan harapan itu.