Suatu siang saya duduk menemani seorang teman lama yang sedang menjalankan usahanya: fortune telling. Dengan mengenakan busana hitam untuk menguatkan kesan seorang fortune teller ia beraksi dengan menggunakan kartu tarot.
"So brapa orang?" tanya saya setelah mendengar ceritanya bahwa ia sudah di sana, di sebuah mall di pusat kota, selama 4 hari.
"Kurang lebih lima puluh. Kebanyakan cewek-cewek dan kebanyakan orang Kristen" katanya sambil memamerkan senyumnya—baru terpikir sekarang dari mana dia tahu kebanyakan komsumennya orang Kristen, ummm, mungkin bagian dari keahliannya meramal. Ia memasang tarif lima ribu perak per satu kali ramalan. Ada yang membayar sesuai tarif. Ada yang membayar melebihi tarif (jika ramalannya menggembirakan hati). Jadi, pantaslah ia tersenyum siang itu—dia masih sendiri dan katanya tempat usahanya ini bebas uang sewa.
"Minta ramal apa dorang?"
"Biasa" katanya, masih dengan senyum di bibir.
Sementara kami bercerita, datang tiga cewek yang penampilannya menyiratkan anak kuliahan. Minta diramal. Bagaimana nasib hubungan mereka dengan pacar masing-masing.
Ia melemparkan senyum kepada saya.
Jadi, itulah 'biasa' itu.
Saya menghabiskan sepanjang siang itu bersama teman saya ini. Menonton dia beraksi sekaligus menjadi saksi kebenaran kata-katanya: kebanyakan cewek dan minta diramal 'biasa'.
Cinta dan masa depan memang tidak bisa ditebak ujungnya sehingga orang memilih berpaling kepada kartu tarot.
Padahal membiarkan masa depan tetap sebuah misteri membuat hidup ini lebih menggairahkan untuk dijalani. Paling tidak membuat kita dewasa karena masa depan amat tergantung dari pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan macam apa yang kita ambil sekarang.
Seorang ibu muda berpenampilan menarik datang menghampiri kami. Minta diramal bisnisnya.
"Kemarin saya diramal jelek, mudah-mudahan hari ini bagus" katanya dengan logat Jakarta sambil melihat teman saya.
"Bu, kalau mau ramalannya bagus mah mending beli kartu tarot terus ngeramal sendiri" balas saya tanpa bermaksud menyindir.
Teman saya, sang fortune teller, yang duduk di sebelah saya pura-pura tidak mendengar kata-kata saya.