Menurut hukum yang berlaku di Jepang, korban yang hilang dalam bencana setelah tiga bulan terhitung sejak bencana itu terjadi akan dianggap meninggal. Dan pemerintah wajib menyerahkan semacam dana belasungkawa kepada anggota keluarga yang masih hidup.
Informasi resmi yang terkumpul sampai saat ini tercatat 7,931 orang hilang dalam bencana dahsyat pertengahan Maret lalu.
Tiga bulan sudah. Sekarang, pemerintah harus memberikan semacam dana bela sungkawa kepada mereka yang anggota keluarganya hilang itu.
Ketika saya membaca berita itu (The Daily Yomiuri, 14/06), saya membayangkan dana yang diterima itu akan dipakai keluarga sebagai modal awal untuk memulai lagi hidup mereka.
Tapi itu pikiran saya (yang tidak mengalami langsung bencana itu dan tidak kehilangan orang saya cintai).
Hiromi Miura, ibu 51 tahun, yang selamat dari bencana itu kini hidup bersama dengan mertuanya dan dua orang anaknya.
Ia, sebagai tulang punggung keluarga, tentu saja sangat membutuhkan dana belasungkawa itu untuk menghidupi keluarganya.
Karena itu, ia datang ke kantor pemerintah setempat untuk melaporkan suaminya, Takeshi Miura, yang hilang dalam bencana itu.
Tetapi setelah mengisi semua dokumen yang disodorkan guna pencairan dana itu, ia malah memasukannya ke dalam tasnya.
Dan pulang ke rumahnya.
Untuk Hiromi, melaporkan suaminya hilang sama dengan meyakini suaminya sudah meninggal.
Padahal, Hiromi mengaku, ia bahkan tidak menganggap tiga bulan itu sebagai bukti suaminya sudah meninggal.
Sebenarnya jika dokumen yang sudah diisi itu diserahkan, ia akan menerima 5 juta Yen.
"Saya akan terus mencarinya sampai ketemu".
Hiromi bahkan berharap suaminya masih hidup.
Memilih antara mencintai orang hidup (dan menerima 5 juta Yen) atau mencintai orang mati (dan tidak menerima 5 juta Yen) akan selalu gampang jika kita tidak mengalaminya sendiri.
Akan selalu gampang jika kenangan bisa dihapus.