Postcard From Nagoya (3)

Rabu, Oktober 26, 2011 0 komentar

Beberapa saat tidak lama setelah upacara minum teh dibuka. ‘Tuan rumah’ mulai mempersiapkan teh yang akan dihidangkan kepada tamu.

Saya mendengar dari seorang Jepang yang mempelajari sejarah Jepang, upacara minum teh yang njelimet itu diinspirasi oleh … tadaaaa…. Perayaan Ekaristi.

Njelimet karena saya disuguhi secangkir teh hijau (3 kali teguk) dan sepotong kecil kue. Tapi butuh waktu sampai 2 jam untuk menikmatinya.

Ada sejumlah ritual menjelang dan sesudah makan kue dan minum teh yang dihidangkan. Ada pula ritual yang harus dilakukan tamu (seperti saya) pada saat makan dan minum.

Pada akhirnya, upcara minum teh bukan hanya tentang makan dan minum.

"Saya Gak Suka Sama Si ..."

0 komentar

“Saya senang ama Romo…” adalah komentar yang sering saya dengar.

Dan “Kenapa?” adalah pertanyaan natural yang suka saya tanyakan setelah mendengar komentar seperti itu.

Beberapa bisa menjelaskan secara detil alasannya.

Beberapa lagi menyebut alasannya. Tapi singkat. “Kotbahnya bagus-bagus”. “Emang apa aja kotbahnya?” biasanya tidak selalu mendapatkan jawaban.

Beberapa lagi kesulitan menjelaskan kenapa. “Senang aja”.

Adakalanya, kita tidak mengingat persis apa yang dilakukan (atau dikatakan) orang lain kepada kita.

Yang bertahan dalam pikiran dan kenangan kita adalah bagaimana perasaan yang ditimbulkan oleh tindakan (atau perkataan) orang tersebut.

Adakalanya, kita hanya mengingat emosi kita pada saat itu.

Seperti “Kotbahnya bagus”. “Emang ngomong apa si Romo?”. “Eh……”

Kita lupa isi kotbah sang Romo.

Tapi kita ingat perasaan kita pada saat mendengar kotbah itu: bahagia, diteguhkan, diinspirasi, dibakar semangat untuk percaya.

Itulah pula sebabnya, kita bisa mengatakan “Saya gak suka sama si …”. Tetapi jika ditanya kenapa, alasannya tidak terlalu jelas atau terlalu sederhana.

Kita bisa lupa apa yang orang itu lakukan atau katakan kepada kita. Tapi kita tidak bisa melupakan perasaan yang ditimbulkan oleh (kelakuan/perkataan) orang tersebut: tidak dihargai, diremehkan, dan seterusnya.

Emosi yang tidak bisa kita lupakan itulah yang menjadi sumber penilaian kita.

Hebat ya, bagaimana emosi mempengaruhi pandangan (dan sikap) kita terhadap orang lain.

Tempat Paling Demokratis di Indonesia

Senin, Oktober 24, 2011 0 komentar

Beberapa waktu lalu saya melukiskan Indonesia kepada seorang teman asal Amerika.

“Indonesia itu negara demokrasi”.

“Dalam prakteknya, tempat paling demokratis di Indonesia adalah pantai”.

Keningnya berkerut.

“Orang bisa bertelanjang dada”.

“Bisa juga mengenakan pakaian lengkap dengan penutup kepala dan bermain bebas di laut”.

Setahun yang lalu, di pantai Carita, Anyer, kamera saya menangkap pemandangan yang Anda lihat di foto di atas itu.

Tentu saja, pemandangan seperti itu tidak bisa disaksikan teman saya di pantai-pantai di Amerika.

Semua orang di sana serba seragam busana pantainya.

Mantan Orang Asing Dilarang Menindas Orang Asing

Minggu, Oktober 23, 2011 0 komentar

Janganlah kau tindas atau kau tekan seorang orang asing, sebab kamupun dahulu adalah orang asing di tanah Mesir” (Kel. 22:21)

Kemarin sore, ditemani segelas ice coffee dan dua buah roti Mocca, saya bercerita dengan seorang mantan Kepala Sekolah sebuah SMA swasta.

Persisnya, beliau bercerita, saya mendengarkan (sambil sesekali mengajukan pertanyaan).

“Sewaktu saya duduk di bangku SMA, Kepala Sekolah itu sosok yang menakutkan” ceritanya sambil menyeruput ice cappuccino pesanannya.

“Pergi ke ruangan Kepala Sekolah bisa menjadi pengalaman traumatis tersendiri”.

“DanKepala Sekolah yang seperti itu dianggap normal oleh masyarakat. Kepala Sekolah ya memang seharusnya begitu”.

‘Kepala Sekolah ya memang seharusnya begitu’ itu berakhir ketika beliau diangkat menjadi Kepala Sekolah.

Ia memutuskan untuk tidak menjadi Kepala Sekolah yang ‘menakutkan’ bagi murid-muridnya.

Dia ingin ‘pergi ke ruangan Kepala Sekolah’ itu menjadi pengalaman menggembirakan dan terlebih-lebih menginspirasi dan meneguhkan para muridnya.

Dia memutuskan mengambil langkah yang tidak biasa itu dan melakukannya! (Ada banyak keputusan yang dengan gampang kita ambil tapi tidak kita lakukan).

Hasilnya?

“It works wonderfully” katanya.

Ada banyak kesaksian bahwa di bawah kepemimpinan beliau, ‘pergi ke ruangan Kepala Sekolah’ menjadi pengalaman diinspirasi dan diteguhkan.

Janganlah kau tindas atau kau tekan seorang orang asing, sebab kamupun dahulu adalah orang asing di tanah Mesir” (Kel. 22:21)

Apa cerita Anda?

Adakah keputusan penting yang Anda buat untuk tidak lagi mengulangi pengalaman buruk yang Anda rasakan kepada orang lain?

Jika ada, semoga “It works wonderfully” juga.

Tuhan memberkati setiap usaha baik yang sedang Anda lakukan.

No Need To Be Serious All The Time

0 komentar

“If a man insisted always on being serious, and never allowed himself a bit of fun and relaxation, he would go mad or become unstable without knowing it” (Herodotus)