Tuhan di Mata Mas Yanto

Rabu, Juli 28, 2010

"Aku bersyukur kepadaMu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil" (Mat. 11:25)

Bagaimana menerangkan pentingnya Tuhan dalam hidup kita?

"Gini deh frat" mulai mas Yanto, supir yang bertahun-tahun bekerja melayani di paroki Stella Maris, Pluit, Jakarta suatu siang.

"Hidup kita itu ibaratnya sesuatu dalam genggaman tangan kita".

"Setiap hari kita genggam erat-erat nih. Lama-lama ya capek juga"

"Makanya kita harus punya sandaran. Sesuatu itu masih kita genggam tetapi sambil bersandar. Jadinya gak capek-capek amat frat. Lebih ringan gitu loh".

Enam tahun saya belajar teologi yang rumit-rumit tentang peran Tuhan dalam hidup kita, baru kali ini saya mendengar teori yang begitu sederhana. Begitu dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Dan begitu kena.

Waktu mendengar penjelasan mas Yanto itu, saya berpikir, Saya belajar enam tahun segala teori tentang Tuhan tetapi bisa juga gagal meyakinkan umat tentang betapa penting kehadiran-Nya. Dan mas Yanto, barangkali, hanya sedikit sekali belajar tentang Tuhan tetapi mampu meyakinkan saya hanya dengan satu penjelasan sederhana. Benarlah kata-kata Yesus di atas.

Benar pulalah, kita tidak bisa berdiri sendiri dan menggenggam pergumulan hidup kita sendirian. Kita butuh sandaran. Supaya, mengutip mas Yanto, kita "Gak capek-capek amat" dan beban genggaman kita "Lebih ringan gitu loh".

Tuhanlah tempat bersandar kita.

P.S: Tadinya saya ingin menutup tulisan ini dengan "Sudahkah Anda bersandar pada Tuhan hari ini?". Saya sebenarnya sudah mengetiknya. Tetapi saya hapus begitu dibaca ulang. Karena rasa-rasanya agak mirip dengan tulisan yang terpampang di banyak cermin yang pernah saya lihat, "Sudah rapikah Anda hari ini?" Masalahnya adalah orang tidak membaca tulisan itu, orang sibuk mematut-matut dirinya di cermin.

"Kamu Salah, Sayang"

Jumat, Juli 16, 2010

Saya tahu Anda bisa menyebut kembali kata-kata Santo Paulus ini seenteng bernafas: "Kasih itu sabar, kasih itu murah hati…".

Tetapi izinkan saya menambahkan ini pada sabda yang istimewa itu: "Kasih itu menyalahkan semua orang kecuali orang yang kita cintai".

Dalam pesawat yang menerbangkan saya ke Jakarta, duduk di sebelah saya seorang ibu, mungkin 40 atau 50-an usianya.

Setelah nyaman berbincang dengan saya selepas obrolan ringan yang khas dua orang asing yang baru bertegur sapa (cuaca yang tidak menentu, harga-harga yang melambung, bla-bla-bla), meluncurlah dari mulutnya cerita tentang anak keduanya yang duduk di bangku SMA (oh, dia memiliki 3 orang anak).

"Papanya baru saja mengungsikan dia ke Surabaya".

Putra mereka terlibat tawuran—sebagai pelaku, bukan korban. Dan kedua orang tuanya khawatir jangan-jangan dia akan menjadi sasaran balas dendam.

"Padahal anak saya itu baik banget. Udah gitu, dia betah di rumah. Gak pernah nakal".

Jadi, mengapa sampai dia bisa terlibat tawuran?

"Dia ikut tawuran karena pergaulan, pengaruh lingkungan, pengaruh teman-temannya yang suka mabuk-mabukan":

Masih ingat kata-kata saya di atas? Kasih itu menyalahkan semua orang kecuali orang kita cintai.

Saya sudah mendengar banyak cerita dengan alur seperti itu. Hanya pemerannya saja yang bervariasi: anak yang tiba-tiba nakal, suami/istri yang tiba-tiba selingkuh, dan seterusnya.

Alurnya demikian. Pembukaannya, "Anak/suami/sodara saya itu baik banget….", di tengahnya "kalau sekarang jadi nakal…" selalu ditutup dengan "pasti karena pergaulan, karena diguna-guna…".

Kasih itu menyalahkan semua orang kecuali orang yang kita cintai.

Benarkah? Mungkin saja.

Tetapi baiklah kita waspada. Ada kalanya itu bukan kasih. Ada kalanya kita tidak siap menghadapi kenyataan anak kita sudah bukan anak kecil yang imut, manis dan nurut lagi. Ada kalanya kita tidak siap menghadapi kenyataan pasangan kita sudah berubah.

Ada kalanya terlalu pahit dan terlalu sakit kenyataan itu sehingga kita lebih memilih menyalahkan semua orang lain.

Ada kalanya kebenaran itu menyakitkan. Kita mengira orang yang kita cintai masih sama dengan yang kita kenal (atau kita pikir kita kenal). Tetapi orang berubah.

Tahukah Anda, orang yang Anda cintai itu tidak berubah atau bertobat atau apalah istilahnya karena kita (dan akhirnya mereka) hanya sibuk menyalahkan semua orang lain?

Kebenaran itu menyakitkan tetapi selalu lebih baik.

Kasih itu berani mengatakan orang yang kita cintai salah (jika memang ia salah).

P.S: Setelah bercerita tentang anaknya, sang ibu bertanya dengan rasa ingin tahu yang maksimal, "Udah menikah?" Saya menggeleng. "Katanya jumlah perempuan di dunia ini lebih banyak daripada laki-laki tetapi tetap saja susah dapat istri" cerocos sang ibu. Beliau masih menambahkan lagi, "Kalau teman tidur banyak, cari istri susah". Mungkin maksud beliau, "Carilah istri, bukan hanya teman tidur". Saya mengangguk-angguk. Sekarang baru terpikir, seharusnya saya tidak hanya mengangguk. Seharusnya anggukan itu langsung disertai penjelasan, "Anggukan saya gak berarti saya akan nyaris istri, ya bu".